Analisa RUU Keamanan Nasional
Draft RUU tetang Keamanan Nasional menimbulkan pro dan kontra, khususnya terkait dengan posisi Kepolisian Republik Indonesia, serta tugas dan fungsi Polri. Berikut analisa terhadap draft RUU, yang didasarkan pada dua perspektif, yaitu Perspektif Pembentukan UU dan Perspektif Substansiil.
A. Perspektif Pembentukan UU
Pembentukan UU di Indonesia, harus mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam UU No. 10 Tahun 2004, serta peraturan pelaksanaannya, telah jelas mengatur berbagai hal terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu pembentukan RUU tentang Keamanan Nasional harus pula mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004.
Dalam Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa:
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:
a. mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi :
1. hak-hak asasi manusia;
2. hak dan kewajiban warga negara;
3. pelaksanaan dan penegakkan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
4. wilayah negara dan pembagian daerah;
5. kewarganegaraan dan kependudukan;
6. keuangan negara.
b. Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah RUU tentang Kemanan Nasional merupakan penjabaran dari Pasal 8 tersebut di atas ?
Dalam BAB XII Pasal 30 UUD 1945 disebutkan sebagai berikut:
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.
Mengacu kepada UUD 1945, maka terdapat beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan agar substansi RUU tidak menyimpang dari norma UUD 1945. Hal tersebut adalah sebagai berikut:
- UU yang dimanatkan untuk dibentuk adalah UU Pertahanan dan Keamanan dan bukan UU Keamanan Nasional. Mengingat masalah pertahanan telah diatur dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, maka ada pemisahan pengaturan pertahanan dan keamanan. Dengan demikian, seharusnya judul RUU adalah RUU tentang Keamanan Negara. Hal ini merupakan konsistensi dari Pasal 30 UUD 1945 serta UU Pertahanan Negara;
- UU Keamanan Negara, seharusnya menjadi kewenangan Polri karena dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 secara jelas dicantumkan Polri sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Dengan demikian, Polri seharusnya yang memiliki kewenangan untuk membuat draft RUU tersebut;
- Pembentukan UU Pertahanan dan UU Keamanan seharusnya tetap mengacu pada kewenangan instansi yang bertanggung jawab pada masing-masing bidang, mengatur hubungan pelaksanaan kewenangan TNI dan Polri, serta hak dan kewajiban warga Negara dalam usaha pertahanan dan keamanan.
B. Perspektif Substansiil
Dari sisi substansi draf RUU Keamanan Nasional, terdapat beberapa hal yang dirasakan tidak sesuai dengan perundang-undangan yang telah ada serta tidak sesuai pula dengan kewenangan masing-masing instansi. Ketidaksesuaian tersebut adalah sebagai berikut:
- Landasan filosofis, sosiologis dan yuridis suatu pembentukan UU haruslah jelas. Dalam draft RUU Keamanan Nasional, tidak merumuskan secara jelas landasan filosofis, sosiologis, serta yuridis dari kebutuhan akan UU Keamanan Negara. Dalam Lampiran UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, disebutkan bahwa: (1) Konsiderans diawali dengan kata Menimbang; (2) Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan; (3) Pokok-pokok pikiran pada konsiderans undang-undang atau peraturan daerah memuat unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya; (4) Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan dianggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan alasan dibuatnya peraturan perundang-undangan tersebut. Perlu ditekankan bahwa landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari pembentukan sebuah UU memegang peranan penting untuk memberikan landasan akan kebutuhan UU tersebut. Untuk itulah harus dirumuskan ulang dengan dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis yang kuat bahwa RUU tersebut sangat dibutuhkan. Secara factual tidak ada kebutuhan akan kehadiran UU Keamanan Nasional, mengingat masalah keamanan telah dirumuskan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Kelemahan atau kekurangan aparat kepolisian dalam menjalankan tugas dan fungsinya, tidak berarti harus mengambil alih kewenangan kepolisian tetapi harus diupayakan (secara bertahap) peningkatan kualitas dan kuantitas Polri. Ini berarti bahwa Polri harus meningkatkan kinerja agar dapat menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.
- Dalam sebuah UU, harus dirumuskan istilah-istilah hukum yang dipergunakan melalui pendefinisian. Lazimnnya, istilah tersebut dirumuskan dalam Ketentuan Umum. Rumusan pengertian harus jelas, pasti, serta tidak memiliki penafsiran yang beragam (syarat lex certa). Dalam draft RUU Keamanan Nasional, pengertian keamanan nasional diletakkan pada fungsi pemerintahan dan kondisi keamanan (Pasal 1), yang bersifat abstrak. Pengertian ini sangat sulit untuk dipahami dalam artian konkrit. Dalam prakteknya, hal semacam ini akan memberikan peluang timbulnya berbagai penafsiran. Kebijakan keamanan yang ditentukan oleh pernyataan politik yang dikeluarkan oleh presiden (Pasal 1 angka 3), akan menimbulkan berbagai penafsiran, sehingga kebijakan keamanan tidak memiliki ukuran yang jelas. Dalam sebuah UU, harus dihindari rumusan yang tidak jelas, harus dihindari rumusan yang bersifat “multi purpose act”.
- Dalam draft RUU, disebutkan bahwa lingkup keamanan nasional mencakup keamanan insani, keamanan publik, keamanan negara, dan pertahanan negara (Pasal 4). Dalam RUU ini diperkenalkan nomenklatur baru, yaitu: “keamanan insani”, yang nantinya sangat bertentangan dengan pelaksanaan dan perlindungan HAM. Pelaksanaan keamanan insani akan melanggar HAM, sebagaimana telah diakui dalam Pasal 28 UUD 1945 serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Nomenklatur apapun yang dibentuk, bila terkait dengan fungsi keamanan, maka hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari penegakan hukum. Ini berarti merupakan tugas Polri untuk menciptaan keamanan melalui penegakan hukum. Dengan demikian proses penegakan hukum tidak dapat dilakukan oleh TNI.
- Menteri yang membidangi urusan dalam negeri bertanggung jawab terhadap pelaksanaan fungsi keamanan insani dan keamanan public. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 17 dan Pasal 21 ini jelas menempatkan Polri di bawah Menteri Dalam Negeri. Segala kebijakan keamanan ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri (Pasal 44). Hal ini sangat bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, yang menempatkan Polri sebagai lembaga mandiri dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
- Selain Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan mengemban tanggung jawab fungsi keamanan Negara dan pertahanan Negara. Kebijakan keamanan Negara pun menjadi lingkup Menteri Pertahanan (Pasal 45). Ini berarti tugas Polri diambil alih oleh Menteri Pertahanan. Dengan demikian, selain tunduk pada kebijakan Menteri Dalam Negeri, Polri pun harus patuh pada kebijakan yang ditetapkan Menteri Pertahanan. Ketentuan ini jelas mengaburkan tugas dan peran Polri.
- Pelaksanaan keamanan nasional akan dilakukan melalui deteksi dini, pencegahan dini, penindakan dan pemulihan (Pasal 4 ayat 2). Pentahapan (deteksi dini, pencegahan dini, penindakan, dan pemulihan) tersebut merupakan tugas dan kewenangan Polri, sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pelaksanaan tahapan oleh TNI dapat dipastikan akan meniadakan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta akan menimbulkan gesekan pelaksanaan tugas antara Polri dan TNI. Dalam KUHAP, upaya penyidikan, penahanan, yang tidak sesuai dengan KUHAP, memiliki akibat hukum tersendiri, yang dilakukan melalui lembaga pra peradilan. Adanya lembaga pra peradilan, sebagaimana diatur dalam KUHAP, merupakan bentuk perlindungan terhadap hak-hak warga Negara dari kemungkinan menghadapi proses hukum yang dilakukan secara sewenang-wenang. Bila proses ini diambil alih oleh TNI, maka tidak ada lembaga pra peradilan yang dapat dipergunakan oleh setiap warga dalam mempertahankan hak-haknya.
- Dalam draft RUU Keamanan Nasional juga diatur tentang keadaan bahaya, yang selama ini diatur dan merupakan lingkup UU No. 23/Prp/1959. Dalam Pasal 12 dan 13 dirumuskan keadaan bahaya, yaitu: konflik komunal, aksi terror, gerakan separatis, aksi radikal destruktif, pemogokan massal, kerusuhan massal, dan aksi boikot. Keadaan bahaya ditentukan bila keamanan dan ketertiban terganggu. Dalam hal ini tidak ditentukan kualitas gangguan. Dengan demikian, pemerintah telah dapat menyatakan kondisi bahaya bila ada gangguan keamanan dan ketertiban. Ketentuan demikian ini akan menimbulkan berbagai penafsiran, sehingga aparat akan mudah untuk bertindak. Rumusan pasal ini tentu sangat berbahaya bagi perkembangan bangsa, yang sedang membangun serta memperkuat nilai-nilai demokrasi dan kepastian hukum. Dalam Pasal 12 UUD 1945 disebutkan bahwa “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Dengan demikian, harus diatur syarat-syarat untuk menentukan keadaan bahaya serta akibat dari keadaan bahaya tersebut. Amanat dalam Pasal 12 UUD 1945 ini tidak nampak dalam substansi RUU Keamanan Nasional.
- Dalam Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Ketentuan dalam UUD ini nampak diabaikan ketika terdapat ancaman dari Negara lain. Dalam Pasal 29 draft RUU Keamanan Nasional, nampak bahwa TNI memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam menghadapi situasi darurat. Bahkan, Pasal 29 ayat (4) dan (5) memberikan kekuasaan kepada TNI untuk mengambil langkah-langkah darurat terlebih dahulu, untuk selanjutnya selambat-lamatnya 1 X 24 jam melapor kepada Presiden. Ketentuan ini tentunya sangat membahayakan posisi Presiden, karena dalam waktu 1 X 24 Jam, TNI dapat melakukan tindakan tanpa sepengetahuan Presiden. Ketentuan ini juga membuka peluang terjadinya kudeta.
- Dalam keadaan darurat sipil, fungsi keamanan tunduk pada penguasa darurat sipil (Pasal 18). Hal ini berarti Polri sebagai pelaksana keamanan dan ketertiban tidak memiliki kekuasaan apapun juga dalam melaksanakan tugasnya. Sesuai prinsip pembagian tugas dan kewenangan antara Polri dan TNI, sebagaimana telah diatur dalam UUD 1945, maka TNI tidak dapat masuk dalam ranah law enforcement. Dalam kondisi apapun juga, apakah bersifat nasional atau internasional, bila terkait dengan law enforcement, maka hal ini merupakan kewenangan Polri.
- Sesuai UUD 1945, tugas pertahanan dan keamanan, merupakan dua tugas yang berbeda serta ditangani oleh instansi yang berbeda pula. Pertahanan merupakan tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang telah diatur secara jelas dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, serta UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Sedangkan keamanan merupakan tugas Kepolisian, yang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Untuk itu, RUU Keamanan Nasional tidak boleh menegasikan kedua UU tersebut. Dalam UUD 1945 secara jelas disebut bahwa TNI dan Polri merupakan alat Negara yang berada di bawah Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. Bila disimak draft RUU Keamanan Nasional, maka nampak bahwa TNI telah masuk pada tugas dan fungsi Kepolisian. Bahkan tanpa diminta, TNI wajib menangani masalah-masalah yang menjadi kewenangan Polri (Pasal 56, 57, 59, 60, 64).
- Mengacu pada Pasal 30 UUD 1945, maka UU tentang Pertahanan dan/atau Keamanan seharusnya mengatur koordinasi antara lembaga-lembaga terkait, serta mengatur keikutsertaan warga Negara dalam proses pertahanan dan keamanan. Dikatakan koordinasi, karena sifat dan tujuannya hanyalah mengkoordinasikan instansi terkait tanpa merubah struktur, kewenangan serta tanggung jawab masing-masing intstansi. Draft RUU telah mengamputasi kewenangan instansi lainnya, khususnya Polri. Dalam Pasal 64 jelas disebutkan bahwa unsur keamanan nasional adalah TNI. Polri hanya sebagai pelengkap, dan akan berperan bila dibutuhkan oleh TNI. Ketentuan ini merupakan upaya untuk mengembalikan Polri di bawah kekuasaan TNI, sebagaimana terjadi pada jaman Orde Baru. Kalau pengembalian posisi Polri di bawah TNI dimaksudkan agar tidak terjadi benturan antara Polri dan TNI dalam melaksanakan tugas, tentunya hal ini tidak dapat dibenarkan. Ketika jaman Orde Baru, benturan antara TNI dan Polri sangat sering terjadi, tetapi tidak pernah (jarang) diberitakan oleh media massa.
- Indonesia telah memiliki UU yang memberikan kewenangan kepada masing-masing instansi, yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. TNI dan Polri telah memiliki tugas dan kewenangan masing-masing, yang merupakan penjabaran dari Pasal 30 UUD 1945. masing-masing tugas dapat dipisahkan secara jelas, yaitu Polri sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap keamanan, ketertiban serta penegakan hukum, sedangkan TNI bertugas dan bertanggung jawab terhadap pertahanan Negara. Dengan demikian jelas bahwa tugas keamanan dan penegakan hukum merupakan kewenangan Polri.
Dalam draft RUU Keamanan Nasional (Pasal 56, 57, 59, 60) terdapat upaya pengambilalihan penegakan hukum oleh TNI, khususnya terhadap penanganan kejahatan terorisme, kejahatan lintas Negara: illegal logging, illegal fishing, people and drug trafficking. Kejahatan yang bersifat transnasional hanya dapat diberantas secara optimal melalui kerjasama transnasional. Kerjasama melalui Interpol, Aseanpol, kerjasama bilateral dengan FBI, Australian Federal Police, Japanese Police dan lain-lain sudah digalang puluhan tahun. Mereka cukup berjasa dalam mengungkap kasus-kasus bom Bali, bom Marriot, maupun dalam mengungkap kejahatan-kejahatan narkoba antar negara. Keterlibatan instansi lain, tanpa adanya jaringan kerjasama internasional, regional, maupun bilateral di lingkungan Law Enforcement Agency yang sudah terbangun selama ini, akan mendapatkan hambatan yang signifikan.
Demikian pula dengan penanganan keamanan di laut, apakah untuk kepentingan pemberantasan kejahatan internasional ataukah kejahatan yang bersifat nasional, tindakan konstabulari (Pasal 58 ayat 3), merupakan kewenangan penuh Polri.Hanya Polri, yang dapat melakukan tindakan konstabulari sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pula dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 draft RUU, yang menyatakan bahwa dalam menangani kejahatan lintas Negara dapat dilakukan dengan operasi militer, jelas sangat berbahaya karena penegakan hukum sangat berbeda dengan operasi militer.
- Dalam draft RUU, dibentuk Dewan Keamanan Nasional (Pasal 36), yang bertugas membantu Presiden dalam menentukan kebijakan keamanan nasional. Anggotanya terdiri dari anggota tetap dan tidak tetap. Ketentuan ini cukup aneh karena Polri tidak masuk dalam keanggotaan Dewan Keamanan Nasional (Pasal 41). Dewan Keamanan Nasional dalam melaksanakan tugasnya dapat meminta data kepada semua pihak. Semua lembaga diwajibkan untuk memberikan data yang diminta (Pasal 42 ayat 2). Ketentuan ini dalam prakteknya tidak dapat menghindari timbulnya arogansi aparat yang akan berakibat pada pelanggaran hak asasi manusia.
- Pasal 54 secara jelas menyatakan kewajiban TNI untuk memberikan bantuan dalam penyelenggaraan keamanan nasional. Dengan adanya ketentuan ini, maka TNI akan terlibat dalam segala bentuk keamanan tanpa diminta bantuan. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 41 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisan RI, yang menyatakan “dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”. Demikian pula dalam Pasal 7 ayat (2) angka 10 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI disebutkan bahwa salah satu tugas TNI adalah “membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang”. Dengan demikian jelas bahwa RUU ini telah “menabrak ketentuan UU lainnya, yang berlaku. Dalam melaksanakan keamanan, TNI bersifat pasif. TNI akan memberikan bentuan bila ada permintaan dari Polri. Dengan demikian ketentuan Pasal 54 draft RUU Keamanan Nasional bertentangan dengan Pasal 41 UU tentang Polri dan Pasal 7 ayat (2) angka 10 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Adanya ketentuan dalam draft RUU menunjukkan bahwa TNI ingin masuk dalam ranah-ranah tugas instansi Polri
- TNI pun wajib membantu tugas pemerintahan di daerah dalam penyelenggaraan keamanan (Pasal 61). Meskipun disyaratkan adanya permintaan bantuan oleh Kepala Daerah kepada TNI (Pasal 62), adanya kata “wajib” menunjukkan bahwa TNI harus membantu tanpa diminta. Secara normative ketentuan ini mengandung kontradiksi. Bahkan dalam Pasal 62 ayat (3) ditentukan bahwa keterlibatan TNI dilaksanakan dengan pola operasi militer.
- Ketentuan Peralihan draft RUU Keamanan Nasional sangat tidak lazim karena terdapat ketentuan yang memerintahkan agar perundang-undangan yang terkait, yang tidak sesuai dengan UU Keamanan Nasional harus dilakukan perubahan untuk menyesuaikan dengan UU Keamanan Nasional (Pasal 67 ayat 2). Dengan kata lain, bila RUU Keamanan Nasional ini diterima dan disahkan menjadi UU, maka semua UU yang telah berlaku harus mengikuti UU ini. Hal ini jelas menunjukkan bahwa RUU Keamanan Nasional akan disiapkan menjadi “super law” yang mengalahkan semua UU terkait yang telah ada. Terkait dengan masalah ini harus diperhatikan Lampiran UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan bahwa “ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan Perundang-undangan yaug sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku, agar Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum”. Dengan demikian jelas bahwa Ketentuan Peralihan dalam draft RUU Keamanan Nasional tidak sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004.
- Draft RUU Keamanan Nasional tidak mengatur bagaimana mekanisme keterlibatan warga Negara di bidang keamanan nasional. Sesuai dengan Pasal 30 UUD 1945, seharusnya UU ini memberikan ruang kepada setiap warga Negara untuk turut terlibat dalam proses keamanan Negara.
- Bila disimak draft RUU Keamanan Nasional, maka banyak rumusan norma yang harus ditata ulang. Sebuah norma haruslah jelas dan tegas. Penataan tidak hanya terhadap rumusan norma tetapi juga struktur norma (Pasal 36, 37, 38, 39, 40) Masih banyak terdapat pengulangan norma yang tidak dikelompokkan menjadi satu bagian, sehingga terkesan ada upaya “penyelundupan” norma. Misalnya, tentang Dewan Keamanan Nasional dicantumkan dalam Pasal 36 tetapi penjabaran lebih lanjut dalam Pasal 41. Sedangkan Pasal 37 dan seterusnya membicarakan tentang posisi Presiden. Contoh lainnya adalah Pasal 54 dan Pasal 64. Dalam Pasal 54, dinyatakan bahwa TNI wajib memberikan bantuan. Tetapi dalam Pasal 64, posisi TNI menjadi pemeran utama. Hal inilah yang akan menimbulkan kekacauan dalam memahami makna norma.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa draft RUU Keamanan Nasional yang dirancang oleh Departemen Pertahanan, menimbulkan banyak masalah. Komentar masyarakat yang termuat di berbagai media seharusnya menjadi pemikiran bagi pemerintah untuk mereview substansi RUU tersebut atau menarik RUU tersebut agar tidak dilanjutkan pembahasannya.
0 komentar:
Posting Komentar