Polri dan Penolakan Laporan Bawaslu

Polri dan Penolakan Laporan Bawaslu

Pemilu Legislatif 2009 telah selesai dilaksanakan, akan tetapi suara yang masuk dalam data tabulasi nasional KPU belum menunjukkan kenaikan prosentase signifikan, sementara kritik terhadap akuntabilitas pelaksanaan pemilu terus bertubi-tubi menghujani KPU, disamping masalah jeda waktu penghitungan yang seakan-akan terus menjadi bom waktu tersendiri bagi KPU. Beberapa kritik terus mencuat kepermukaan mulai dari manipulasi DPT, pengadaan teknologi informasi yang bermasalah, surat suara pemilih yang tertukar antar dapil, sampai kepada pelanggaran administratif seperti halnya keterlambatan melengkapi dokumen yang disyaratkan maupun hasil audit keuangan yang terlambat diserahkan partai. Fenomena ini sebenarnya jamak terjadi disetiap pelaksanaan pesta demokrasi 5 tahunan di Indonesia, tetapi menjadi sebuah fenomenal karena over frekuensi. Satu peristiwa penting yang menghenyakan masyarakat, khususnya bagi kelompok yang concern terhadap pelaksanaan Pileg 2009 adalah ditolaknya laporan Bawaslu oleh Mabes Polri, terhadap dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh KPU melalui legalisasi (Baca: SE KPU Nomor 676 & 684) surat suara yang tertukar di beberapa Dapil. Argumentasi penolakan Polri terhadap laporan Bawaslu disebabkan karena “laporan tersebut lebih masuk kedalam ranah pelanggaran administrasi bukan pidana yang membawa konsekuensi pada diperiksanya perkara di wilayah pengadilan TUN”, selain itu Polri juga menganggap bahwa bukti yang diajukan Bawaslu kurang lengkap.


Polri dan pemahaman UU No 10 Tahun 2008


UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu hanya mengkategorisasikan pelanggaran menjadi 2 yaitu pelanggaran administratif dan pelanggaran yang dikualifikasikan pidana. Pelanggaran administratif adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU (Vide Pasal 248), sedangkan pelanggaran pidana adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana yang diatur dalam UU yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum (Vide Pasal 252). Bahwa Pasal 288 UU No. 10 Tahun 2008 yang digunakan sebagai dasar hukum terhadap laporan Bawaslu kepada Polri, menyatakan bahwa :


Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000, 00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) ”


Dari sini maka kita sudah dapati 3 unsur yang sebenarnya sudah terpenuhi dalam laporan Bawaslu; Pertama, Setiap orang; yang dimaksud setiap orang disini bukan hanya saja person tetapi juga Badan Hukum Perdata sebagai subyek hukum privat. Pengkualifikasian “setiap orang” dalam pasal ini, membawa konsekuensi logis bahwa KPU merupakan salah satu subyek hukum yang dimaksudkan dalam pasal ini. Kedua, Dengan Sengaja; Sengaja (Dolus) dalam Crimineel Wetboek (KUHP) diartikan sebagai “kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”. Tindakan KPU yang memberikan legalisasi terhadap surat suara yang tertukar antar dapil jelas merupakan tindakan kesengajaan, karena yang bersangkutan sebenarnya sudah mengetahui bahwa legalisasi yang diberikan pasti akan mengakibatkan suara yang hendak diberikan pemilih kepada caleg tertentu tidak dapat diberikan sehingga surat suara menjadi tidak bernilai berdasarkan prinsip proporsional. Ketiga, Melakukan perbuatan yang menyebabkan suara pemilih menjadi tidak bernilai; Perbuatan ini dilakukan KPU dengan melakukan legalisasi surat suara yang tertukar antar dapil melalui SE KPU bernomor 676 dan 684.


Tertukar atau ditukar


Perlu dibedakan antara terminology kata tertukar dan ditukar. Tertukar berarti ada ketidaksengajaan yang dilakukan, sehingga membawa konsekuensi tidak dapat dipidananya pelanggaran dimaksud, karena tertukar tidak mengandung niat sedangkan ditukar berarti ada kesengajaan sehingga jelas dapat dipidana karena sudah ada niat dari yang bersangkutan untuk melegalisasikan surat suara yang “tertukar” antar dapil, padahal sebelumnya yang bersangkutan mengetahui bahwa surat suara yang “tertukar” tersebut berdasarkan UU No. 10 Thn 2008 tidak boleh dianggap sah. Bahwa tindakan KPU jika dilihat pada fakta hukum yang sebenarnya, jelas terminology yang digunakan bukan lagi “tertukar” akan tetapi “ditukar” karena yang bersangkutan dipastikan telah mengetahui bahwa dengan tindakanya tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi caleg, karena pemilih tidak dapat memilih caleg pilihannya yang sekaligus membuat suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai.


Bukan TUN tapi Pidana


Polri pada saat menolak laporan Bawaslu dan dalam beberapa kesempatan, selalu menyatakan bahwa pelanggaran dimaksud bukan masuk kedalam kategori pelanggaran pidana tetapi pelanggaran administrasi sehingga harus diselesaikan melalui pengadilan TUN. Bila kita lihat substansi UU No. 10 Tahun 2008, maka bagaimana mungkin pelanggaran yang dilakukan KPU disebut sebagai pelanggaran administrasi, jika ada dugaan kesengajaan untuk menukar surat suara antar dapil dengan melakukan legalisasi surat suara yang ditukar tersebut melalui SE KPU bernomor 676 dan 684, sehingga mengakibatkan surat suara menjadi tidak bernilai. Selain itu bagaimana mungkin pelanggaran yang bersifat administratif harus diselesaikan melalui Pengadilan TUN, sementara dalam Pasal 247 ayat 8 UU No. 10 Tahun 2008 sangat jelas dinyatakan bahwa apabila terdapat pelanggaran administratif yang dilakukan oleh peserta pemilu maka akan diselesaikan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten. Keputusan KPU juga tidak termasuk atau dapat dipersamakan dengan Keputusan TUN sebagai mana dimaksud UU No. 5 Thn 1986 Jo UU No. 9 Thn 2004 tentang Pengadilan TUN, karena KPU bukanlah Pejabat TUN, sehingga alhasil akan membawa konsekuensi, tidak dapat diselesaikannya Pelanggaran Administratif melalui Pengadilan TUN.


Tidak Mau Repot


Polri juga menyatakan bahwa laporan yang disampaikan Bawaslu belum memenuhi bukti permulaan yang cukup sehingga tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran pidana yang diatur dalam UU No. 10 Thn 2008, karena yang disampaikan hanyalah SE KPU bernomor 676 dan 684 dan tidak ada bukti mengenai surat suara tertukar yang dimaksud. Ini menjadi ironi karena bagaimana mungkin Bawaslu harus berusaha sendiri menemukan bukti permulaan yang dianggap cukup sebagaimana dimakud oleh Polri, Jika tidak ada atas nama atau alat Negara yang dinyatakan legal untuk menghadirkannya. Bukankah menjadi kewajiban Polri berdasarkan Pasal 253 ayat 1,2, dan 3 UU No. 10 Thn 2008 untk melengkapi berkas penyidikan sebelum dilimpahkan kepada Penuntut Umum, dan bukankah menjadi kewajiban Polri sebagai institusi penegak hukum untuk mencari dan menambahkan barang bukti serta mengembangkan perkara sampai dianggap cukup bukti untuk dilimpahkan kepada Penuntut Umum.


Jelas ini merupakan preseden buruk yang tidak terlupakan, jika Polri tetap memaksakan kehendaknya bahwa laporan Bawaslu tergolong sebagai pelanggaran admnistratif bukan pelanggaran pidana. Karena secara tidak langsung dapat berakibat pada menguatnya asumsi publik yang menyatakan bahwa telah terjadi konspirasi politik besar yang melibatkan Polri yang seharusnya berada pada posisi netral kedalam pusaran politik praktis. Atau mungkin beginilah wajah dan perilaku Polri yang tidak mau direpotkan oleh pelapor atau pengadu dalam pencarian bukti untuk mendukung pemeriksaan perkara. Semoga ini tidak menjadi sebuah kenyataan.


Ditulis oleh :

Mochamad Sentot

Enter your email address:

dapatkan artikel terbaru dari kamiNews

0 komentar:

Posting Komentar