Menyoal Penanganan Malpraktik Medis di Indonesia

MENYOAL PENANGANAN MALPRAKTIK MEDIS

DI INDONESIA


Lemahnya penanganan kasus malpraktik medis di Indonesia merupakan fenomena aktual yang menghenyakan sekaligus juga menjadi tamparan keras bagi dunia hukum dan kedokteran. Dalam dimensi kedokteran, berbagai macam tuduhan kasus malpraktik yang dimuarakan kepada rumah sakit dan dokter acapkali memberikan image buruk bagi dokter dan rumah sakit tersebut, image ini muncul berkaitan dengan terbentuknya opini-opini negatif yang cenderung memojokkan rumah sakit dan dokter, sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi proses pelayanan medis yang dilakukan kepada pasien. Sedangkan dalam dimensi hukum, lemahnya penanganan kasus malpraktik ini dapat semakin memperburuk eksistensi penegakan hukum di Indonesia, yang dalam konteks kekinian dapat dikatakan berada pada titik nadir, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya gerak inkremental sedikitpun terhadap penegakan hukum di Indonesia dalam kasus ini.

Belajar dari penanganan kasus malpraktik medis di Amerika, sebenarnya keberhasilan penanganan kasus malpraktik medis di Indonesia ini bukanlah hal yang mustahil, tapi karena memang kurangnya berbagai instrumen (regulasi), sosialisasi, kesadaran publik, dan sistem hukum dinegara kita, memberikan kasus ini sulit terkuak di meja hijau. Di Amerika, penanganan terhadap kasus ini sebenarnya sudah dimulai sejak lama, yaitu sejak tahun 1942 ketika hakim cordozo memberikan putusan terhadap kasus tersebut dengan memenangkan pihak pasien. Namun kasus ini mulai concern di ungkap pada tahun 1970 dan 2003, ketika terjadi peningkatan secara signifikan terhadap jumlah kasus malpraktik, hingga pada era ini terjadi apa yang dinamakan malpraktik krisis yang menyebabkan hampir 80% perusahaan asuransi disana gulung tikar akibat membayar klaim ganti rugi terhadap tuntutan/ gugatan yang ditujukan kepada dokter dan rumah sakit. Di Amerika penanganan kasus malpraktik ini dapat berhasil karena pertama, sudah adanya regulasi yang mengatur secara khusus mengenai masalah ini, kedua, telah adanya perubahan paradigma dan cara pandang secara masif terhadap hubungan dokter dan pasien yaitu dari hubungan vertikal paternalistik ke hubungan horisontal kontraktual disamping itu es sprit de corp dalam konteks negatif yang menjadi semangat profesi ini sudah mulai terkikis, ketiga, adanya peningkatan pemahaman terhadap basic materi dan suplemen kasus ini melalui legal comparative, keempat terbentuknya organisasi independen yang mampu melakukan fungsi kontrol terhadap profesi ini, dengan komposisi anggota yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu, termasuk di dalamnya kedokteran yang melakukan pengkajian secara holistik dan mengangkat kasus ini menjadi kasus yang penad dalam kerangka perbaikan mutu pelayanan medis dokter dan rumah sakit, dan kelima, karena adanya dukungan dari sistem hukum itu sendiri.

Kondisi faktual dan semangat terhadap penanganan kasus diatas jauh berbeda dengan kondisi faktual dan semangat penanganannya di Indonesia. Di Indonesia penanganan kasus ini justru tidak mempunyai tempat yang berarti. Karena apabila kita mencoba mereview ulang terhadap penyelesaian kasus ini melalui jalur litigasi, maka dapat dikatakan hanya 3 % kasus yang dapat diselesaikan melalui jalur ini, sedangkan yang lain diselesaikan melalui jalur perdamaian (di luar pengadilan) atau tidak ada kejelasan sama sekali. Kondisi ini bisa terjadi karena beberapa hal, antara lain pertama, karena tidak adanya peraturan yang secara khusus mengatur mengenai malpraktik medis dan peraturan pendukung lainnya, kedua, masih kuatnya egosentris dan es sprit de corp profesi ini dalam konteks yang negatif, ketiga, tidak adanya organisasi yang independen untuk memberikan justifikasi secara final terhadap terbukti atau tidaknya malpraktik yang dilakukan dokter, keempat, lemahnya kualitas SDM elemen hukum kita dalam memahami dan menyelesaikan kasus ini, dan kelima, tidak adanya dukungan dari sistem hukum kita untuk menyelesaikan kasus ini secara tuntas.

Di Indonesia sendiri produk peraturan yang mengatur secara khusus terhadap profesi ini baru dibentuk pada tahun 2004, hal ini jauh berbeda dengan negara-negara asia seperti Singapura, Thailand, maupun Bangladesh yang sudah mengatur dulu profesi dokter sejak tahun 1980-an. Keterlambatan ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal antara lain, karena adanya faktor kesengajaan dari pihak-pihak yang terkait dalam kasus ini, sehingga adagium ada uang ada produk secara eksplisit dapat dikatakan terbukti, minimnya pengetahuan lembaga legislatif kita terhadap perkembangan kasus medico legal, dan tidak adanya keseriusan dari berbagai pihak untuk mengangkat permasalahan ini sebagai kasus yang penad.

Kuatnya es sprit de corp dan egosentris (dalam konteks negatif) profesi dokter, juga merupakan kendala siginifikan dalam penanganan kasus ini, karena bagaimanapun keadaannya dokter akan lebih membela dan melindungi teman sejawatnya dibandingkan memberi justifikasi terhadap kesalahan yang telah dilakukan temannya,mungkin ini merupakan perspektif keliru yang tertradisi dari janji Hipocrates kepada Dewa Zeus yang berbunyi “Bahwa kami (dokter) berjanji akan selalu menolong teman sejawat kami dalam suka maupun duka”. Selain itu begitu tabu dan eksklusifnya ilmu dari profesi ini juga turut meningkatkan sifat egosentrisme kelompok.

Tidak adanya organisasi yang independen untuk memberikan justifikasi secara final terhadap tindakan malpraktik medik yang dilakukan dokter merupakan hal yang tidak bisa di elakkan. Karena organisasi seperti MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) hanyalah organisasi yang bersifat internal dan hanya sebatas memberikan rekomendasi non final kepada IDI tentang bersalah atau tidaknya dokter dalam melakukan tindakan medis, bukan kepada Pengadilan. Selain itu anggota-anggota MKDKI lebih banyak dipenuhi oleh dokter dibandingkan dengan orang-orang dari disiplin ilmu yang lain, sehingga praktis ketika orang-orang MKDKI ini diminta oleh Pengadilan untuk menjadi saksi ahli, maka kecenderungan untuk memberikan pendapat yang subyektif lebih besar. Keadaan ini berbeda jauh dengan keberadaan organisasi independen untuk melakukan kontrol terhadap pelaksanaan profesi dokter di negara Amerika atau Inggris, dimana mereka lebih obyektif untuk memberikan pendapat terhadap kasus malpraktek medik di Pengadilan, karena komposisi dalam organisasi mereka lebih banyak diwarnai oleh orang-orang yang berlatar belakang displin ilmu lain. Orang-orang tersebut juga tidak diperbolehkan berpraktek seperti dokter pada biasanya, dengan kompensasi berupa reward yang besar dari Pemerintah.

Lemahnya kualitas SDM elemen hukum kita (baik hakim, jaksa, kepolisian, dan pengacara) dalam memahami perkara dan perkembangan Hukum Kedokteran ini, adalah faktor yang tidak mungkin dihilangkan. Karena dengan pemahaman terhadap perkara dan hukum kedokteran yang baik maka keluaran (output) yang diharapkanpun akan cenderung baik. Mengingat hukum kedokteran ini dapat berkembang jika dilakukan perbandingan terhadap pelaksanaan hukum ini (legal comparative) di negara lain. Tanpa adanya perbandingan hukum, maka praktis dapat dikatakan tidak ada dinamisasi dan efektifitas dalam penegakannya, karena perkara ini adalah perkara yang cukup luas, bervariatif, terperinci dan mendalam. Lemahnya kualitas SDM elemen hukum kita juga ditunjukkan dengan lemahnya pemahaman terhadap akar permasalahan malpraktik, seperti pemahaman terhadap bahasa/ istilah medis, tindakan medis, prosedur/ standart pelayanan medis, teori-teori malpraktik, perkembangan kasus, dan aspek-aspek terkait lainnya.

Selanjutnya sebagai upaya mendukung terkuaknya kasus ini ke meja hijau, maka sistem hukum di negara kita yang notabene mengikuti sistem hukum eropa kontinental mempunyai peranan penting, karena mau tidak mau sistem hukum inilah yang bisa memberikan kepastian valid, mengenai bersalah atau tidaknya dokter dan rumah sakit ketika dituduh/ digugat telah melakukan malpraktik medis. Namun patut disayangkan sekali dalam sistem hukum kita yang secara egois, tidak mau memetik saripati pelajaran dari penanganan kasus-kasus malpraktik yang terjadi di dunia barat sana dan tidak mau dipelajarinya materi literatur hukum medis yang berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan dunia kedokteran. Sehingga praktis apabila kasus ini diajukan ke meja hijau, maka hanya menjadi kasus sampah yang tidak akan terbukti dan terkuak selamanya.


Ditulis oleh :

Mochamad Sentot

Enter your email address:

dapatkan artikel terbaru dari kamiNews

Polri dan Penolakan Laporan Bawaslu

Polri dan Penolakan Laporan Bawaslu

Pemilu Legislatif 2009 telah selesai dilaksanakan, akan tetapi suara yang masuk dalam data tabulasi nasional KPU belum menunjukkan kenaikan prosentase signifikan, sementara kritik terhadap akuntabilitas pelaksanaan pemilu terus bertubi-tubi menghujani KPU, disamping masalah jeda waktu penghitungan yang seakan-akan terus menjadi bom waktu tersendiri bagi KPU. Beberapa kritik terus mencuat kepermukaan mulai dari manipulasi DPT, pengadaan teknologi informasi yang bermasalah, surat suara pemilih yang tertukar antar dapil, sampai kepada pelanggaran administratif seperti halnya keterlambatan melengkapi dokumen yang disyaratkan maupun hasil audit keuangan yang terlambat diserahkan partai. Fenomena ini sebenarnya jamak terjadi disetiap pelaksanaan pesta demokrasi 5 tahunan di Indonesia, tetapi menjadi sebuah fenomenal karena over frekuensi. Satu peristiwa penting yang menghenyakan masyarakat, khususnya bagi kelompok yang concern terhadap pelaksanaan Pileg 2009 adalah ditolaknya laporan Bawaslu oleh Mabes Polri, terhadap dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh KPU melalui legalisasi (Baca: SE KPU Nomor 676 & 684) surat suara yang tertukar di beberapa Dapil. Argumentasi penolakan Polri terhadap laporan Bawaslu disebabkan karena “laporan tersebut lebih masuk kedalam ranah pelanggaran administrasi bukan pidana yang membawa konsekuensi pada diperiksanya perkara di wilayah pengadilan TUN”, selain itu Polri juga menganggap bahwa bukti yang diajukan Bawaslu kurang lengkap.


Polri dan pemahaman UU No 10 Tahun 2008


UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu hanya mengkategorisasikan pelanggaran menjadi 2 yaitu pelanggaran administratif dan pelanggaran yang dikualifikasikan pidana. Pelanggaran administratif adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU (Vide Pasal 248), sedangkan pelanggaran pidana adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana yang diatur dalam UU yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum (Vide Pasal 252). Bahwa Pasal 288 UU No. 10 Tahun 2008 yang digunakan sebagai dasar hukum terhadap laporan Bawaslu kepada Polri, menyatakan bahwa :


Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000, 00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) ”


Dari sini maka kita sudah dapati 3 unsur yang sebenarnya sudah terpenuhi dalam laporan Bawaslu; Pertama, Setiap orang; yang dimaksud setiap orang disini bukan hanya saja person tetapi juga Badan Hukum Perdata sebagai subyek hukum privat. Pengkualifikasian “setiap orang” dalam pasal ini, membawa konsekuensi logis bahwa KPU merupakan salah satu subyek hukum yang dimaksudkan dalam pasal ini. Kedua, Dengan Sengaja; Sengaja (Dolus) dalam Crimineel Wetboek (KUHP) diartikan sebagai “kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”. Tindakan KPU yang memberikan legalisasi terhadap surat suara yang tertukar antar dapil jelas merupakan tindakan kesengajaan, karena yang bersangkutan sebenarnya sudah mengetahui bahwa legalisasi yang diberikan pasti akan mengakibatkan suara yang hendak diberikan pemilih kepada caleg tertentu tidak dapat diberikan sehingga surat suara menjadi tidak bernilai berdasarkan prinsip proporsional. Ketiga, Melakukan perbuatan yang menyebabkan suara pemilih menjadi tidak bernilai; Perbuatan ini dilakukan KPU dengan melakukan legalisasi surat suara yang tertukar antar dapil melalui SE KPU bernomor 676 dan 684.


Tertukar atau ditukar


Perlu dibedakan antara terminology kata tertukar dan ditukar. Tertukar berarti ada ketidaksengajaan yang dilakukan, sehingga membawa konsekuensi tidak dapat dipidananya pelanggaran dimaksud, karena tertukar tidak mengandung niat sedangkan ditukar berarti ada kesengajaan sehingga jelas dapat dipidana karena sudah ada niat dari yang bersangkutan untuk melegalisasikan surat suara yang “tertukar” antar dapil, padahal sebelumnya yang bersangkutan mengetahui bahwa surat suara yang “tertukar” tersebut berdasarkan UU No. 10 Thn 2008 tidak boleh dianggap sah. Bahwa tindakan KPU jika dilihat pada fakta hukum yang sebenarnya, jelas terminology yang digunakan bukan lagi “tertukar” akan tetapi “ditukar” karena yang bersangkutan dipastikan telah mengetahui bahwa dengan tindakanya tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi caleg, karena pemilih tidak dapat memilih caleg pilihannya yang sekaligus membuat suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai.


Bukan TUN tapi Pidana


Polri pada saat menolak laporan Bawaslu dan dalam beberapa kesempatan, selalu menyatakan bahwa pelanggaran dimaksud bukan masuk kedalam kategori pelanggaran pidana tetapi pelanggaran administrasi sehingga harus diselesaikan melalui pengadilan TUN. Bila kita lihat substansi UU No. 10 Tahun 2008, maka bagaimana mungkin pelanggaran yang dilakukan KPU disebut sebagai pelanggaran administrasi, jika ada dugaan kesengajaan untuk menukar surat suara antar dapil dengan melakukan legalisasi surat suara yang ditukar tersebut melalui SE KPU bernomor 676 dan 684, sehingga mengakibatkan surat suara menjadi tidak bernilai. Selain itu bagaimana mungkin pelanggaran yang bersifat administratif harus diselesaikan melalui Pengadilan TUN, sementara dalam Pasal 247 ayat 8 UU No. 10 Tahun 2008 sangat jelas dinyatakan bahwa apabila terdapat pelanggaran administratif yang dilakukan oleh peserta pemilu maka akan diselesaikan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten. Keputusan KPU juga tidak termasuk atau dapat dipersamakan dengan Keputusan TUN sebagai mana dimaksud UU No. 5 Thn 1986 Jo UU No. 9 Thn 2004 tentang Pengadilan TUN, karena KPU bukanlah Pejabat TUN, sehingga alhasil akan membawa konsekuensi, tidak dapat diselesaikannya Pelanggaran Administratif melalui Pengadilan TUN.


Tidak Mau Repot


Polri juga menyatakan bahwa laporan yang disampaikan Bawaslu belum memenuhi bukti permulaan yang cukup sehingga tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran pidana yang diatur dalam UU No. 10 Thn 2008, karena yang disampaikan hanyalah SE KPU bernomor 676 dan 684 dan tidak ada bukti mengenai surat suara tertukar yang dimaksud. Ini menjadi ironi karena bagaimana mungkin Bawaslu harus berusaha sendiri menemukan bukti permulaan yang dianggap cukup sebagaimana dimakud oleh Polri, Jika tidak ada atas nama atau alat Negara yang dinyatakan legal untuk menghadirkannya. Bukankah menjadi kewajiban Polri berdasarkan Pasal 253 ayat 1,2, dan 3 UU No. 10 Thn 2008 untk melengkapi berkas penyidikan sebelum dilimpahkan kepada Penuntut Umum, dan bukankah menjadi kewajiban Polri sebagai institusi penegak hukum untuk mencari dan menambahkan barang bukti serta mengembangkan perkara sampai dianggap cukup bukti untuk dilimpahkan kepada Penuntut Umum.


Jelas ini merupakan preseden buruk yang tidak terlupakan, jika Polri tetap memaksakan kehendaknya bahwa laporan Bawaslu tergolong sebagai pelanggaran admnistratif bukan pelanggaran pidana. Karena secara tidak langsung dapat berakibat pada menguatnya asumsi publik yang menyatakan bahwa telah terjadi konspirasi politik besar yang melibatkan Polri yang seharusnya berada pada posisi netral kedalam pusaran politik praktis. Atau mungkin beginilah wajah dan perilaku Polri yang tidak mau direpotkan oleh pelapor atau pengadu dalam pencarian bukti untuk mendukung pemeriksaan perkara. Semoga ini tidak menjadi sebuah kenyataan.


Ditulis oleh :

Mochamad Sentot

Enter your email address:

dapatkan artikel terbaru dari kamiNews