Analisa RUU Kamnas

Analisa RUU Keamanan Nasional

Draft RUU tetang Keamanan Nasional menimbulkan pro dan kontra, khususnya terkait dengan posisi Kepolisian Republik Indonesia, serta tugas dan fungsi Polri. Berikut analisa terhadap draft RUU, yang didasarkan pada dua perspektif, yaitu Perspektif Pembentukan UU dan Perspektif Substansiil.

A. Perspektif Pembentukan UU

Pembentukan UU di Indonesia, harus mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam UU No. 10 Tahun 2004, serta peraturan pelaksanaannya, telah jelas mengatur berbagai hal terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu pembentukan RUU tentang Keamanan Nasional harus pula mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004.

Dalam Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa:

Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:

a. mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi :

1. hak-hak asasi manusia;

2. hak dan kewajiban warga negara;

3. pelaksanaan dan penegakkan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;

4. wilayah negara dan pembagian daerah;

5. kewarganegaraan dan kependudukan;

6. keuangan negara.

b. Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.

Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah RUU tentang Kemanan Nasional merupakan penjabaran dari Pasal 8 tersebut di atas ?

Dalam BAB XII Pasal 30 UUD 1945 disebutkan sebagai berikut:

(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.

(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.

(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.

Mengacu kepada UUD 1945, maka terdapat beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan agar substansi RUU tidak menyimpang dari norma UUD 1945. Hal tersebut adalah sebagai berikut:

  1. UU yang dimanatkan untuk dibentuk adalah UU Pertahanan dan Keamanan dan bukan UU Keamanan Nasional. Mengingat masalah pertahanan telah diatur dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, maka ada pemisahan pengaturan pertahanan dan keamanan. Dengan demikian, seharusnya judul RUU adalah RUU tentang Keamanan Negara. Hal ini merupakan konsistensi dari Pasal 30 UUD 1945 serta UU Pertahanan Negara;
  2. UU Keamanan Negara, seharusnya menjadi kewenangan Polri karena dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 secara jelas dicantumkan Polri sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Dengan demikian, Polri seharusnya yang memiliki kewenangan untuk membuat draft RUU tersebut;
  3. Pembentukan UU Pertahanan dan UU Keamanan seharusnya tetap mengacu pada kewenangan instansi yang bertanggung jawab pada masing-masing bidang, mengatur hubungan pelaksanaan kewenangan TNI dan Polri, serta hak dan kewajiban warga Negara dalam usaha pertahanan dan keamanan.

B. Perspektif Substansiil

Dari sisi substansi draf RUU Keamanan Nasional, terdapat beberapa hal yang dirasakan tidak sesuai dengan perundang-undangan yang telah ada serta tidak sesuai pula dengan kewenangan masing-masing instansi. Ketidaksesuaian tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Landasan filosofis, sosiologis dan yuridis suatu pembentukan UU haruslah jelas. Dalam draft RUU Keamanan Nasional, tidak merumuskan secara jelas landasan filosofis, sosiologis, serta yuridis dari kebutuhan akan UU Keamanan Negara. Dalam Lampiran UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, disebutkan bahwa: (1) Konsiderans diawali dengan kata Menimbang; (2) Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan; (3) Pokok-pokok pikiran pada konsiderans undang-undang atau peraturan daerah memuat unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya; (4) Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan dianggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan alasan dibuatnya peraturan perundang-undangan tersebut. Perlu ditekankan bahwa landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari pembentukan sebuah UU memegang peranan penting untuk memberikan landasan akan kebutuhan UU tersebut. Untuk itulah harus dirumuskan ulang dengan dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis yang kuat bahwa RUU tersebut sangat dibutuhkan. Secara factual tidak ada kebutuhan akan kehadiran UU Keamanan Nasional, mengingat masalah keamanan telah dirumuskan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Kelemahan atau kekurangan aparat kepolisian dalam menjalankan tugas dan fungsinya, tidak berarti harus mengambil alih kewenangan kepolisian tetapi harus diupayakan (secara bertahap) peningkatan kualitas dan kuantitas Polri. Ini berarti bahwa Polri harus meningkatkan kinerja agar dapat menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.

  1. Dalam sebuah UU, harus dirumuskan istilah-istilah hukum yang dipergunakan melalui pendefinisian. Lazimnnya, istilah tersebut dirumuskan dalam Ketentuan Umum. Rumusan pengertian harus jelas, pasti, serta tidak memiliki penafsiran yang beragam (syarat lex certa). Dalam draft RUU Keamanan Nasional, pengertian keamanan nasional diletakkan pada fungsi pemerintahan dan kondisi keamanan (Pasal 1), yang bersifat abstrak. Pengertian ini sangat sulit untuk dipahami dalam artian konkrit. Dalam prakteknya, hal semacam ini akan memberikan peluang timbulnya berbagai penafsiran. Kebijakan keamanan yang ditentukan oleh pernyataan politik yang dikeluarkan oleh presiden (Pasal 1 angka 3), akan menimbulkan berbagai penafsiran, sehingga kebijakan keamanan tidak memiliki ukuran yang jelas. Dalam sebuah UU, harus dihindari rumusan yang tidak jelas, harus dihindari rumusan yang bersifat “multi purpose act”.

  1. Dalam draft RUU, disebutkan bahwa lingkup keamanan nasional mencakup keamanan insani, keamanan publik, keamanan negara, dan pertahanan negara (Pasal 4). Dalam RUU ini diperkenalkan nomenklatur baru, yaitu: “keamanan insani”, yang nantinya sangat bertentangan dengan pelaksanaan dan perlindungan HAM. Pelaksanaan keamanan insani akan melanggar HAM, sebagaimana telah diakui dalam Pasal 28 UUD 1945 serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Nomenklatur apapun yang dibentuk, bila terkait dengan fungsi keamanan, maka hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari penegakan hukum. Ini berarti merupakan tugas Polri untuk menciptaan keamanan melalui penegakan hukum. Dengan demikian proses penegakan hukum tidak dapat dilakukan oleh TNI.

  1. Menteri yang membidangi urusan dalam negeri bertanggung jawab terhadap pelaksanaan fungsi keamanan insani dan keamanan public. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 17 dan Pasal 21 ini jelas menempatkan Polri di bawah Menteri Dalam Negeri. Segala kebijakan keamanan ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri (Pasal 44). Hal ini sangat bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, yang menempatkan Polri sebagai lembaga mandiri dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

  1. Selain Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan mengemban tanggung jawab fungsi keamanan Negara dan pertahanan Negara. Kebijakan keamanan Negara pun menjadi lingkup Menteri Pertahanan (Pasal 45). Ini berarti tugas Polri diambil alih oleh Menteri Pertahanan. Dengan demikian, selain tunduk pada kebijakan Menteri Dalam Negeri, Polri pun harus patuh pada kebijakan yang ditetapkan Menteri Pertahanan. Ketentuan ini jelas mengaburkan tugas dan peran Polri.

  1. Pelaksanaan keamanan nasional akan dilakukan melalui deteksi dini, pencegahan dini, penindakan dan pemulihan (Pasal 4 ayat 2). Pentahapan (deteksi dini, pencegahan dini, penindakan, dan pemulihan) tersebut merupakan tugas dan kewenangan Polri, sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pelaksanaan tahapan oleh TNI dapat dipastikan akan meniadakan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta akan menimbulkan gesekan pelaksanaan tugas antara Polri dan TNI. Dalam KUHAP, upaya penyidikan, penahanan, yang tidak sesuai dengan KUHAP, memiliki akibat hukum tersendiri, yang dilakukan melalui lembaga pra peradilan. Adanya lembaga pra peradilan, sebagaimana diatur dalam KUHAP, merupakan bentuk perlindungan terhadap hak-hak warga Negara dari kemungkinan menghadapi proses hukum yang dilakukan secara sewenang-wenang. Bila proses ini diambil alih oleh TNI, maka tidak ada lembaga pra peradilan yang dapat dipergunakan oleh setiap warga dalam mempertahankan hak-haknya.

  1. Dalam draft RUU Keamanan Nasional juga diatur tentang keadaan bahaya, yang selama ini diatur dan merupakan lingkup UU No. 23/Prp/1959. Dalam Pasal 12 dan 13 dirumuskan keadaan bahaya, yaitu: konflik komunal, aksi terror, gerakan separatis, aksi radikal destruktif, pemogokan massal, kerusuhan massal, dan aksi boikot. Keadaan bahaya ditentukan bila keamanan dan ketertiban terganggu. Dalam hal ini tidak ditentukan kualitas gangguan. Dengan demikian, pemerintah telah dapat menyatakan kondisi bahaya bila ada gangguan keamanan dan ketertiban. Ketentuan demikian ini akan menimbulkan berbagai penafsiran, sehingga aparat akan mudah untuk bertindak. Rumusan pasal ini tentu sangat berbahaya bagi perkembangan bangsa, yang sedang membangun serta memperkuat nilai-nilai demokrasi dan kepastian hukum. Dalam Pasal 12 UUD 1945 disebutkan bahwa “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Dengan demikian, harus diatur syarat-syarat untuk menentukan keadaan bahaya serta akibat dari keadaan bahaya tersebut. Amanat dalam Pasal 12 UUD 1945 ini tidak nampak dalam substansi RUU Keamanan Nasional.

  1. Dalam Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Ketentuan dalam UUD ini nampak diabaikan ketika terdapat ancaman dari Negara lain. Dalam Pasal 29 draft RUU Keamanan Nasional, nampak bahwa TNI memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam menghadapi situasi darurat. Bahkan, Pasal 29 ayat (4) dan (5) memberikan kekuasaan kepada TNI untuk mengambil langkah-langkah darurat terlebih dahulu, untuk selanjutnya selambat-lamatnya 1 X 24 jam melapor kepada Presiden. Ketentuan ini tentunya sangat membahayakan posisi Presiden, karena dalam waktu 1 X 24 Jam, TNI dapat melakukan tindakan tanpa sepengetahuan Presiden. Ketentuan ini juga membuka peluang terjadinya kudeta.

  1. Dalam keadaan darurat sipil, fungsi keamanan tunduk pada penguasa darurat sipil (Pasal 18). Hal ini berarti Polri sebagai pelaksana keamanan dan ketertiban tidak memiliki kekuasaan apapun juga dalam melaksanakan tugasnya. Sesuai prinsip pembagian tugas dan kewenangan antara Polri dan TNI, sebagaimana telah diatur dalam UUD 1945, maka TNI tidak dapat masuk dalam ranah law enforcement. Dalam kondisi apapun juga, apakah bersifat nasional atau internasional, bila terkait dengan law enforcement, maka hal ini merupakan kewenangan Polri.

  1. Sesuai UUD 1945, tugas pertahanan dan keamanan, merupakan dua tugas yang berbeda serta ditangani oleh instansi yang berbeda pula. Pertahanan merupakan tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang telah diatur secara jelas dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, serta UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Sedangkan keamanan merupakan tugas Kepolisian, yang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Untuk itu, RUU Keamanan Nasional tidak boleh menegasikan kedua UU tersebut. Dalam UUD 1945 secara jelas disebut bahwa TNI dan Polri merupakan alat Negara yang berada di bawah Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. Bila disimak draft RUU Keamanan Nasional, maka nampak bahwa TNI telah masuk pada tugas dan fungsi Kepolisian. Bahkan tanpa diminta, TNI wajib menangani masalah-masalah yang menjadi kewenangan Polri (Pasal 56, 57, 59, 60, 64).

  1. Mengacu pada Pasal 30 UUD 1945, maka UU tentang Pertahanan dan/atau Keamanan seharusnya mengatur koordinasi antara lembaga-lembaga terkait, serta mengatur keikutsertaan warga Negara dalam proses pertahanan dan keamanan. Dikatakan koordinasi, karena sifat dan tujuannya hanyalah mengkoordinasikan instansi terkait tanpa merubah struktur, kewenangan serta tanggung jawab masing-masing intstansi. Draft RUU telah mengamputasi kewenangan instansi lainnya, khususnya Polri. Dalam Pasal 64 jelas disebutkan bahwa unsur keamanan nasional adalah TNI. Polri hanya sebagai pelengkap, dan akan berperan bila dibutuhkan oleh TNI. Ketentuan ini merupakan upaya untuk mengembalikan Polri di bawah kekuasaan TNI, sebagaimana terjadi pada jaman Orde Baru. Kalau pengembalian posisi Polri di bawah TNI dimaksudkan agar tidak terjadi benturan antara Polri dan TNI dalam melaksanakan tugas, tentunya hal ini tidak dapat dibenarkan. Ketika jaman Orde Baru, benturan antara TNI dan Polri sangat sering terjadi, tetapi tidak pernah (jarang) diberitakan oleh media massa.

  1. Indonesia telah memiliki UU yang memberikan kewenangan kepada masing-masing instansi, yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. TNI dan Polri telah memiliki tugas dan kewenangan masing-masing, yang merupakan penjabaran dari Pasal 30 UUD 1945. masing-masing tugas dapat dipisahkan secara jelas, yaitu Polri sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap keamanan, ketertiban serta penegakan hukum, sedangkan TNI bertugas dan bertanggung jawab terhadap pertahanan Negara. Dengan demikian jelas bahwa tugas keamanan dan penegakan hukum merupakan kewenangan Polri.

Dalam draft RUU Keamanan Nasional (Pasal 56, 57, 59, 60) terdapat upaya pengambilalihan penegakan hukum oleh TNI, khususnya terhadap penanganan kejahatan terorisme, kejahatan lintas Negara: illegal logging, illegal fishing, people and drug trafficking. Kejahatan yang bersifat transnasional hanya dapat diberantas secara optimal melalui kerjasama transnasional. Kerjasama melalui Interpol, Aseanpol, kerjasama bilateral dengan FBI, Australian Federal Police, Japanese Police dan lain-lain sudah digalang puluhan tahun. Mereka cukup berjasa dalam mengungkap kasus-kasus bom Bali, bom Marriot, maupun dalam mengungkap kejahatan-kejahatan narkoba antar negara. Keterlibatan instansi lain, tanpa adanya jaringan kerjasama internasional, regional, maupun bilateral di lingkungan Law Enforcement Agency yang sudah terbangun selama ini, akan mendapatkan hambatan yang signifikan.

Demikian pula dengan penanganan keamanan di laut, apakah untuk kepentingan pemberantasan kejahatan internasional ataukah kejahatan yang bersifat nasional, tindakan konstabulari (Pasal 58 ayat 3), merupakan kewenangan penuh Polri.Hanya Polri, yang dapat melakukan tindakan konstabulari sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pula dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 draft RUU, yang menyatakan bahwa dalam menangani kejahatan lintas Negara dapat dilakukan dengan operasi militer, jelas sangat berbahaya karena penegakan hukum sangat berbeda dengan operasi militer.

  1. Dalam draft RUU, dibentuk Dewan Keamanan Nasional (Pasal 36), yang bertugas membantu Presiden dalam menentukan kebijakan keamanan nasional. Anggotanya terdiri dari anggota tetap dan tidak tetap. Ketentuan ini cukup aneh karena Polri tidak masuk dalam keanggotaan Dewan Keamanan Nasional (Pasal 41). Dewan Keamanan Nasional dalam melaksanakan tugasnya dapat meminta data kepada semua pihak. Semua lembaga diwajibkan untuk memberikan data yang diminta (Pasal 42 ayat 2). Ketentuan ini dalam prakteknya tidak dapat menghindari timbulnya arogansi aparat yang akan berakibat pada pelanggaran hak asasi manusia.

  1. Pasal 54 secara jelas menyatakan kewajiban TNI untuk memberikan bantuan dalam penyelenggaraan keamanan nasional. Dengan adanya ketentuan ini, maka TNI akan terlibat dalam segala bentuk keamanan tanpa diminta bantuan. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 41 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisan RI, yang menyatakan “dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”. Demikian pula dalam Pasal 7 ayat (2) angka 10 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI disebutkan bahwa salah satu tugas TNI adalah “membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang”. Dengan demikian jelas bahwa RUU ini telah “menabrak ketentuan UU lainnya, yang berlaku. Dalam melaksanakan keamanan, TNI bersifat pasif. TNI akan memberikan bentuan bila ada permintaan dari Polri. Dengan demikian ketentuan Pasal 54 draft RUU Keamanan Nasional bertentangan dengan Pasal 41 UU tentang Polri dan Pasal 7 ayat (2) angka 10 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Adanya ketentuan dalam draft RUU menunjukkan bahwa TNI ingin masuk dalam ranah-ranah tugas instansi Polri

  1. TNI pun wajib membantu tugas pemerintahan di daerah dalam penyelenggaraan keamanan (Pasal 61). Meskipun disyaratkan adanya permintaan bantuan oleh Kepala Daerah kepada TNI (Pasal 62), adanya kata “wajib” menunjukkan bahwa TNI harus membantu tanpa diminta. Secara normative ketentuan ini mengandung kontradiksi. Bahkan dalam Pasal 62 ayat (3) ditentukan bahwa keterlibatan TNI dilaksanakan dengan pola operasi militer.

  1. Ketentuan Peralihan draft RUU Keamanan Nasional sangat tidak lazim karena terdapat ketentuan yang memerintahkan agar perundang-undangan yang terkait, yang tidak sesuai dengan UU Keamanan Nasional harus dilakukan perubahan untuk menyesuaikan dengan UU Keamanan Nasional (Pasal 67 ayat 2). Dengan kata lain, bila RUU Keamanan Nasional ini diterima dan disahkan menjadi UU, maka semua UU yang telah berlaku harus mengikuti UU ini. Hal ini jelas menunjukkan bahwa RUU Keamanan Nasional akan disiapkan menjadi “super law” yang mengalahkan semua UU terkait yang telah ada. Terkait dengan masalah ini harus diperhatikan Lampiran UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan bahwa “ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan Perundang-undangan yaug sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku, agar Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum”. Dengan demikian jelas bahwa Ketentuan Peralihan dalam draft RUU Keamanan Nasional tidak sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004.

  1. Draft RUU Keamanan Nasional tidak mengatur bagaimana mekanisme keterlibatan warga Negara di bidang keamanan nasional. Sesuai dengan Pasal 30 UUD 1945, seharusnya UU ini memberikan ruang kepada setiap warga Negara untuk turut terlibat dalam proses keamanan Negara.

  1. Bila disimak draft RUU Keamanan Nasional, maka banyak rumusan norma yang harus ditata ulang. Sebuah norma haruslah jelas dan tegas. Penataan tidak hanya terhadap rumusan norma tetapi juga struktur norma (Pasal 36, 37, 38, 39, 40) Masih banyak terdapat pengulangan norma yang tidak dikelompokkan menjadi satu bagian, sehingga terkesan ada upaya “penyelundupan” norma. Misalnya, tentang Dewan Keamanan Nasional dicantumkan dalam Pasal 36 tetapi penjabaran lebih lanjut dalam Pasal 41. Sedangkan Pasal 37 dan seterusnya membicarakan tentang posisi Presiden. Contoh lainnya adalah Pasal 54 dan Pasal 64. Dalam Pasal 54, dinyatakan bahwa TNI wajib memberikan bantuan. Tetapi dalam Pasal 64, posisi TNI menjadi pemeran utama. Hal inilah yang akan menimbulkan kekacauan dalam memahami makna norma.

C. Kesimpulan


Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa draft RUU Keamanan Nasional yang dirancang oleh Departemen Pertahanan, menimbulkan banyak masalah. Komentar masyarakat yang termuat di berbagai media seharusnya menjadi pemikiran bagi pemerintah untuk mereview substansi RUU tersebut atau menarik RUU tersebut agar tidak dilanjutkan pembahasannya.

ditulis oleh Mochamad Sentot

Jaminan Kebebasan Beragama Dalam Revisi KUHP

JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM

REVISI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

Latar Belakang Pemikiran

Secara yuridis normatif, jaminan akan kebebasan beragama di Indonesia sebenarnya cukup kuat. Hal ini ditunjukan dari banyaknya regulasi yang mengatur secara khusus mengenai ikhwal kebebasan beragama ini. Namun, dari sejumlah regulasi yang memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama ini ternyata dalam kenyataannya juga tidak serta merta memberikan keharmonisan dan rasa aman bagi para pemeluknya untuk menjalankan keyakinan atau ajaran yang dianutnya. Alasan ini bukan tidak berdasar, karena praktis masih banyak bentuk-bentuk kejahatan terhadap agama yang hingga saat ini masih terjadi, bahkan dengan alih-alih bertentangan dengan keyakinan maupun ajaran yang dianut oleh pelakunya. Jaminan kebebasan beragama yang seharusnya menjadi tolak ukur dan alas sah dari terjaminnya Hak Asasi Manusia untuk memilih dan meyakini agama tertentu ternyata hingga saat ini justru masih menjadi fatamorgana, karena dalam kenyataannya kebebasan beragama tersebut hanya ada dalam agama yang diakui pemerintah secara de jure. Hal ini sekaligus juga mengandung arti bahwa jika ada seseorang yang mempunyai agama berbeda selain dari agama-agama yang diakui oleh negara, maka seakan-akan ada efek yang dapat memberikan reduksifitas terhadap hak-hak sipil dari seseorang tersebut sebagai warga negara. Bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut telah melakukan penodaan agama, meskipun dalam kenyataannya tidak memberikan provokasi kepada orang lain untuk mengikuti keyakinan maupun ajaran yang dianutnya. Contoh praktis dari fenomena tersebut adalah ketika keyakinan keagamaan dari kelompok Lia “Eden” Aminudin dituduh melakukan penodaan agama dan divonis 2 tahun karena melanggar KUHP khususnya Pasal 156a. Inilah contoh telanjang dari masih suburnya praktek deskriminasi terhadap agama dan keyakinan yang berkembang di Negara kita, meskipun ada banyak undang-undang yang menjadikannya larangan

Meskipun regulasi yang memberikan jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia cukup kuat, namun pada tingkatan implementasinya jaminan kebebasan beragama tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan pemerintah terkesan enggan melakukan perubahan paradigma untuk melihat agama dan segala keragamannya menjadi sebuah kekayaan. Watak Negara yang sepenuhnya ingin menguasai segi-segi kehidupan dalam masyarakat, khususnya mengenai keyakinan, sebagai salah satu cirri Negara otoriter juga belum sepenuhnya hilang di Negara ini.

Seperti diketahui, penyusunan naskah RUU KUHP sudah dimulai sejak tahun 1977 hingga sekarang meskipun hingga saat ini belum juga dibahas oleh lembaga legislatif. Dalam naskah RUU KUHP sekarang, delik agama telah mengalami perluasan dan diatur tersendiri dalam satu bab di bawah judul “Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama”, yang tercantum pada Bab VII. Perluasan pengaturan terhadap delik agama ini ternyata menguak banyak tanda tanya dan diskursus tersendiri bagi beberapa kelompok khususnya bagi para praktisi dan akademisi, karena ketentuan mengenai ikhwal keagamaan yang diatur dalam RUU KUHP terbaru tersebut disinyalir kuat bersifat overcriminalized dan menyudutkan kelompok kepercayaan maupun keyakinan yang hidup diluar agama yang diakui oleh Negara. Untuk mengetahui lebih lanjut terhadap perkembangan delik agama yang ada di dalam RUU KUHP tersebut maka cukup relevan apabila kita menelisik lebih jauh eksistensi delik agama dan korelasinya dengan perlindungan HAM khususnya mengenai kebebasan beragama melalui kajian yang kritis dan sistematis.

Pengaturan Jaminan Kebebasan Beragama

Jaminan kebebasan beragama pada konstitusi kita sebenarnya telah diatur dalam Psl 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang berbunyi : 1)”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memlilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”, 2)”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Kebebasan beragama juga dipertegas lagi dalam Psl 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi : (1)”Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”, (2)“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”.

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu: 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam Pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Dari pasal tersebut jelas bahwa negara (c.q. pemerintah) adalah institusi yang pertama-tama berkewajiban untuk menjamin kebebasan berkeyakinan dan segala sesuatu yang menjadi turunannya, seperti pengakuan hak-hak sipilnya tanpa diskriminasi. Dalam pasal 1c UU No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”.

Kebebasan beragama selain tercantum di dalam konstitusi dan hukum positif Negara kita juga tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (disingkat DUHAM),[1] dan dokumen-dokumen historis tentang HAM,[2] seperti dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791) dan International Bill of Rights (1966). Dalam DUHAM, kebebasan beragama tercantum dalam Pasal 2 yang menyatakan: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”

Secara umum DUHAM yang diumumkan PBB tahun 1948 mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan politik, antara lain memuat hak-hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberi tahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi. Keempat, hak ekonomi, sosial dan budaya, antara lain mernuat hak untuk menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan; larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender, dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan.

Prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam dokumen HAM internasional tersebut secara jelas sebenarnya disebutkan dalam pasal 18: "Setiap orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dimuka umum atau secara pribadi.“

Hak kebebasan beragama dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isinya sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.

Perlindungan Kebebasan Beragama di Indonesia

Prinsip kebebasan beragama di Indonesia di samping mengacu kepada instrumen internasional mengenai HAM, seperti dipaparkan sebelumnya, juga harus mengacu kepada konstitusi dan sejumlah Undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penegakan HAM. Di antaranya, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2003 tentang perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan Internasional tentang pemenuhan hak-hak sipil dan politik dari seluruh warga negara tanpa kecuali.

Pemaknaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari pengakuan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu selanjutnya diikuti dengan ketentuan mengenai kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan disini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat individu. Dengan ungkapan lain, agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara cukup menjamin dan menfasilitasi agar warga negara dapat menjalankan agama dan peribadatannya dengan nyaman dan aman, bukan menetapkan mana ajaran agama atau bentuk peribadatan yang harus dan tidak harus dilakukan oleh warga negara. Demikian pula, negara sama sekali tidak berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama; negara juga tidak berhak memutuskan mana agama resmi dan tidak resmi; tidak berhak menentukan mana agama induk dan mana agama sempalan. Negara pun tidak berhak mengklaim kebenaran agama dari kelompok mayoritas dan mengabaikan kelompok minoritas. Bahkan, negara juga tidak berhak mendefinisikan apa itu agama. Penentuan agama atau bukan hendaknya diserahkan saja sepenuhnya kepada penganut agama bersangkutan. Bahkan, menurut Agus Salim, salah satu tokoh penting the Founding Fathers Indonesia, Pancasila menjamin setiap warga negara memeluk agama apapun, bahkan juga menjamin setiap warga negara untuk memilih tidak beragama sekalipun.

Kebebasan beragama, adalah prinsip yang sangat penting dalam kehidupan bernegara dan berbangsa sehingga harus dipahami makna dan konsekuensinya, baik oleh negara maupun masyarakat. Oleh sebab itu prinsip ini perlu diwujudkan ke dalam suatu UU yang memayungi kebebasan beragama. UU ini diperlukan untuk memproteksi warga dari tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berbasis agama sekaligus juga membatasi otoritas negara sehingga tidak menimbulkan campur tangan negara dalam hal aqidah (dasar-dasar kepercayaan), ibadah, dan syari’at agama (code) pada umumnya. Tujuan lain adalah menyadarkan seluruh warga negara akan hak-hak asasinya sebagai manusia yang bermartabat dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama, serta potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut. UU semacam itu harus mendefinisikan kebebasan beragama secara lebih operasional.

Mengacu kepada dokumen HAM internasional, konstitusi dan sejumlah undang-undang tersebut, maka kebebasan beragama harus dimaknai sebagai berikut :

Pertama, kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama dan kepercayaan yang dipeluk, serta kebebasan melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.

Kedua, kebebasan dan kemerdekaan menyebarkan agama, menjalankan misi atau berdakwah dengan syarat semua kegiatan penyebaran agama itu tidak menggunakan cara-cara kekerasan maupun paksaan secara langsung maupun tidak langsung. Demikian pula tidak mengeksploitasi kebodohan dan kemiskinan masyarakat atau bersifat merendahkan martabat manusia sehingga tidak dibenarkan melakukan pemberian bantuan apa pun, pembagian bahan makanan, pemberian beasiswa atau dana kemanusiaan kepada anak-anak dari keluarga miskin atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu.

Ketiga, kebebasan beragama seharusnya mencakup pula kebebasan untuk berpindah agama, artinya berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Setiap warga negara berhak untuk memilih agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya dapat membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu, berpindah agama hendaknya dipahami sebagai sebuah proses pencarian atau penemuan kesadaran baru dalam beragama.

Anehnya sikap umum pemerintah dan masyarakat terhadap orang-orang yang pindah agama tidak konsisten, dan cenderung diskriminatif. Sebab, jika seseorang itu berpindah ke dalam agama yang kita anut, kita cenderung menerimanya dengan sukacita atau bahkan merayakannya. Sebaliknya, jika seseorang itu berpindah dari agama kita ke agama lainnya (keluar dari agama kita), kita cenderung marah dan memandang pelakunya sebagai murtad, kafir, musyrik dan sebagainya. Hal ini sangat tidak adil. Bagaimana mungkin kita dapat menerima perpindahan seseorang ke dalam agama kita dan menolak hal yang sama. Sebab, orang yang pindah agama itu murtad dalam pandangan semua agama. Jika bisa menerima orang lain masuk ke dalam agama kita, seharusnya mudah pula menerima orang kita masuk ke agama lain. Mengapa dalam beragama ada semacam pikiran culas? Hanya mau untung tetapi takut rugi.

Keempat, kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebolehan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan sepanjang perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan eksploitasi. Artinya, perkawinan itu bukan dilakukan untuk tujuan perdagangan perempuan dan anak perempuan (trafficking in women and children) yang akhir-akhir ini menjadi isu global.

Yang penting dilindungi adalah hak warga negara untuk mencatatkan peristiwa penting tersebut, baik kepada lembaga pencatatan sipil maupun KUA. Negara berkewajiban mencatatkan peristiwa sipil warga, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian, sebaliknya warga negara berhak menerima pelayanan registrasi. Dalam hal ini negara tidak mencampuri urusan prosedur pernikahan berdasarkan ketentuan atau upacara agama apapun. Kedua calon mempelai berhak melangsungkan pernikahan berdasarkan pilihan dan kesepakatan bersama. Otoritas agama boleh saja membuat fatwa atau keputusan yang mengharamkan perkawinan lintas agama, atau keluarga dan individu boleh menganggap haram pernikahan antara pemeluk agama yang berbeda. Namun fatwa atau keputusan tersebut tidak mengikat negara dan masyarakat.

Kelima, kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebebasan mempelajari ajaran agama manapun di lembaga-lembaga pendidikan formal, termasuk lembaga pendidikan milik pemerintah. Konsekuensinya, setiap siswa atau mahasiswa berhak memilih atau menentukan agama mana yang akan dipelajarinya. Tidak boleh dibatasi hanya pada agama yang dianut peserta didik. Demikian juga, kebebasan untuk memilih tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Akan tetapi, lembaga pendidikan dapat mewajibkan peserta didiknya untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi pembentukan karakter warganegara yang baik.

Keenam, kebebasan beragama memungkinkan negara dapat menerima kehadiran sekte, paham, dan aliran keagamaan baru sepanjang tidak menggangu ketenteraman umum dan tidak pula melakukan praktek-praktek yang melanggar hukum, seperti perilaku kekerasan, penipuan atau pembodohan warga dengan kedok agama.

Ketujuh, kebebasan beragama mendorong lahirnya organisasi-organisasi keagamaan untuk maksud meningkatkan kesalehan warga, meningkatkan kualitas kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu agama atau keyakinan sebagai syarat. Konsekuensinya, negara atau otoritas keagamaan apa pun tidak boleh membuat fatwa atau keputusan hukum lainnya yang menyatakan seseorang sebagai kafir, murtad atau berdosa. Atau memberi label terhadap suatu paham, sekte, aliran keagamaan atau kepercayaan tertentu sebagai paham sesat.

Kedelapan, kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di negara ini. Negara tidak boleh bersikap memihak terhadap kelompok keagamaan tertentu dan berbuat diskriminatif terhadap kelompok lainnya. Dalam konteks ini seharusnya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, juga tidak ada istilah penganut agama samawi dan non-samawi. Demikian juga tidak perlu ada istilah agama induk dan agama sempalan. Jangan lagi ada istilah agama resmi dan tidak resmi atau diakui dan tidak diakui pemerintah. Setiap warga negara mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agamanya.

Penodaan Agama dalam Praktek Pengadilan

Salah satu problem krusial dalam revisi KUHP adalah masalah agama. Karena perumusan delik agama inilah yang akan menjadi starting point untuk melakukan redefinisi terhadap kebebasan beragama dan kesepahaman akan pentingnya kebebasan seseorang dalam memilih agama dan kepercayaan yang diyakininya. Secara implisit kecenderungan, kebijakan pemerintah dalam masalah agama senantiasa menimbulkan pro-kontra. Hal ini karena kelompok-kelompok agama di Indonesia mempunyai aspirasi yang bukan saja berbeda, tapi saling bertentangan. Karena itu, kelompok-kelompok agama cenderung ramai-ramai meminjam “tangan negara” untuk memperjuangkan dan mengamankan posisinya. Kecenderungan ini tampak kian jelas ketika kita mengikuti pro-kontra sejumlah regulasi daerah yang biasa disebut dengan Perda Syariat Islam. Dengan “mengamankan” agenda keagamaan melalui pasal dalam undang-undang dan regulasi lainnya, maka tindakan yang diskriminatif sekalipun bisa menjadi “kebenaran” karena disahkan oleh undang-undang. Kondisi ini jelas berbahaya, karena undang-undang bisa menjadi alat penyandera untuk membenarkan tindakan yang melanggar konstitusi sekalipun. Salah satu fungsi penting hukum pidana adalah untuk memberikan dasar legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang mengancam dan membahayakan, serta merugikan kepentingan umum. Ia memberikan mandat kepada negara untuk melindungi masyarakat luas dari perbuatan orang per orang atau kelompok orang yang hak-haknya terlanggar di satu sisi, dan memberi kewenangan kepada negara untuk menghukum orang yang tindakannya melanggar hukum. Berikut beberapa kasus penodaan agama yang sudah mendapatkan vonis dari pengadilan.

Tabel

Beberapa Kasus “Penodaan Agama” yang telah Mendapatkan Vonis Pengadilan

No.

Kasus - Korban

Tahun

Vonis Pengadilan

Keterangan

1.

Kasus Cerpen “Langit Makin Mendung” karya Ki Pandji Kusmin - HB. Jassin

1969

1 tahun penjara dengan percobaan 2 tahun

Kasus bermula dari penerbitan cerpen karya Ki Pandji Kusmin disebuah majalah sastra pimpinan HB. Jassin, yang isinya menghina kesucian agama islam. Kasus ini merupakan kasus penodaan agama pertama setelah Psl 156a dimasukan dalam KUHP

2.

Kasus Tabloid Monitor - Arswendo Atmowiloto

1990

5 tahun penjara

Kasus disebabkan karena arswendo sebagai pemimpin tabloid monitor menerbitkan hasil angket tokoh yg paling dikagumi yg menempatkan Nabi Muhamad SAW di urutan 11 (satu tingkat dibawah Arswendo).

3.

Kasus Saleh Situbondo - Saleh Situbondo

1996

3 tahun penjara

Kasus bermula dari pernyataan lugu penjaga masjid di situbondo yang menyatakan bahwa Allah SWT adalah mahluk biasa, kasus ini kemudian berkembag ke masalah SARA dan menimbulkan puluhan gereja dibakar.

4.

Kasus Mas’ud Simanungkalit - Mas’ud Simanungkalit

2003

3 tahun penjara

Kasus disebabkan karena Mas’ud dianggap salah menafsirkan al-quran dalam buku karyanya yang berjudul “Kutemukan Kebenaran Sejati dalam Al-Quran”

5.

Kasus Sekte Pondok Nabi - Mangapin Sibuea

2004

2 tahun penjara

Kasus bermula dari peredaran VCD yang berjudul “Kiamat Dunia Akan Segera Terjadi”

6.

Lia Aminudin

2005

2 tahun penjara

Kasus bermula dari penyebaran ajaran Lia yang oleh MUI dinggap sesat

Diambilkan dari Rumadi, Makalah : Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama Dalam RUU KUHP[3]

Rumusan “Delik Agama” dalam RUU KUHP

Istilah “delik agama” pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Oemar Seno Adji. Istilah ini memang dapat menyebabkan multi tafsir, karena membawa kita pada tiga pengertian atau asosiasi pemikiran berikut ini: (a) delik menurut agama; (b) delik terhadap agama; dan (c) delik yang berhubungan dengan agama. Apalagi delik agama dalam tiga pengertian itu sudah tersebar dalam KUHP yang sekarang berlaku. Jadi mana yang sebetulnya yang lebih tepat disebutkan sebagai “delik agama” dari ketiga anggapan atau pengertian tersebut? Kalau kita merujuk atau membaca tulisan-tulisan Prof. Oemar Seno Adji,[4] maka delik agama yang dimaksudkannya adalah dalam pengertian yang kedua dan ketiga. Untuk kepentingan pembahasan tulisan ini, saya akan menggunakan istilah “delik agama” tersebut dalam pengertian yang dipahami oleh Prof. Oemar Seno Adji itu.

Di negara-negara Eropa, seperti Inggris misalnya, istilah delik agama itu dikenal dengan istilah “blashphemy”. Apa yang dimaksud dengan istilah ini? Black’s Law Dictionary mengartikannya: “the offence of speaking matter relating to god, Jesus Christ, the Bible, or the Book of Common Prayer, inteded to wound the feelings of mandkind or to excite contempt and hatred against the church by law established, or to promote immorality”.[5] Dalam rumusan yang hampir sama, Simester & Sullivan menyatakan pula, “blasphemous words are punishable ‘for their manner, their violence or ribaldry or more fully stated, for their tendency to endanger the peace then and there, to deprave public morality generally, to shake the fabric of society and to be a cause of civil strife”.[6]

Gagasan perumusan delik agama berasal dari Seminar Hukum Nasional I pada tahun 1963. Dalam salah satu resolusinya dikatakan, bahwa dalam reformasi hukum pidana yang akan datang, perlu ditelaah secara mendalam tentang adanya delik-delik agama dalam KUHP. Selanjutnya dikatakan, bahwa tidakkah pengakuan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan kausa prima dalam negara Pancasila, dengan Pasal 29 UUD 1945 yang harus menjadi dasar dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, membenarkan bahkan mewajibkan penciptaan delik-delik agama dalam KUHP? Agama dalam kehidupan dan kenyataan hukum kita merupakan faktor fundamental, dapatlah dimengerti apabila faktor tersebut dapat digunakan sebagai landasan yang kuat dan kokoh dihidupkanya delik-delik agama. Delik-delik agama dapat hidup berdampingan dengan delik-delik susila, bahkan bisa mengambil unsur agama sebagai sumber inspirasinya.

Gagasan yang berkembang dalam Seminar Hukum Nasional I tersebut terwujud dengan terbitnya UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Dalam UU ini, khususnya pada Pasal 4, menyebutkan penambahan pasal baru dalam KUHP, yaitu pasal 156a. Bunyi pasal tersebut adalah:

”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; dan (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Esa”.

Inilah awalnya ”delik agama” dalam pengertian delik terhadap agama masuk dalam KUHP, dan kemudian mempengaruhi perumusan RUU KUHP. Yang terutama ingin dilindungi dalam konsep ”delik terhadap agama” ini adalah kesucian agama itu sendiri. Bukan melindungi kebebasan beragama para pemeluknya (individu). Sebab menurut para perancangnya, agama perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama, seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya. Meski ditujukan untuk melindungi kesuciaan agama, tetapi karena agama “tidak bisa bicara” maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi para penganut agama, argumen Prof. Oemar Seno Adji.[7]

Dalam perkembangan pemikiran yang demikianlah, kini dalam RUU KUHP yang terakhir (Tim Prof. Muladi) delik agama dikategorisasi dan disistematisasi kembali dari KUHP yang sekarang berlaku sehingga disusun ke dalam satu bab tersendiri, yaitu Bab VII (yang berisi 8 pasal --Pasal 341 sampai 348). Bab ini terdiri atas dua bagian. Bagian Kesatu tentang “Tindak Pidana terhadap Agama”, terdiri dari dua paragraf, yakni satu tentang penghinaan terhadap agama, dan paragraf dua tentang penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama. Sementara Bagian Kedua tentang “Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah”, terdiri dari 2 paragraf, yakni satu tentang gangguan terhadap penyelenggaran ibadah dan kegiatan keagamaan, dan paragraf dua tentang perusakan tempat Ibadah. Berikut kategorisasi dan sistematisasi delik agama yang terdapat dalam RUU KUHP :

Pertama, Pasal 341: “Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang sifatnya penghinaan terhadap agama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Kategori III“.

Kedua, Pasal 342: “Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“.

Ketiga, Pasal 343: “Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“.

Keempat, Pasal 344: (1) “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan, suatu rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 341 atau pasal 343 dengan maksud agar isi tulisan, gambar atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV; (2) “Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tersebut“.

Kelima, Pasal 345: “Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“.

Keenam, Pasal 346: (1) “Setiap orang yang menganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jemaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Kategori IV; (2) “Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II“.

Ketujuh, Pasal 347: “Setiap orang yang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejek petugas agama yang sedang melaksanakan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Kategori III“.

Kedelapan, pasal 348: “Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“.

Telaah Kritis “Delik Agama“ dalam RUU KUHP

Terdapat tiga hal yang secara khusus terkesan di dalam perumusan delik keagamaan yang ada di dalam RUU KUHP, yaitu :

Pertama, bahwa RUU ini terkesan ambisius mengatur soal agama. Pada UU KUHP sebelumnya masalah agama hanya diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 156 a tentang tindak pidana penodaan pada suatu agama yang dianut di Indonesia. Sedangkan RUU sekarang merumuskan soal agama dalam suatu bab khusus yang dinamakan Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, terdiri dari dua bagian. Pertama, soal tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama; dan kedua, soal tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah. Seluruhnya tercakup dalam 8 pasal, yakni pasal-pasal 341, 342, 343, 344, 345, 346, 347, dan 348.

Kedua, RUU KUHP ini sangat rinci mengatur soal kehidupan beragama. Mungkin tujuan semula dari para penyusun RUU tersebut adalah agar ketentuan dalam pasal-pasal Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama itu tidak menjadi pasal karet (Hatzei Vertikelen). Dapat ditafsirkan sesuai keinginan siapa saja sehingga menyulitkan bagi hakim atau pengambil keputusan untuk menetapkan keputusan yang adil dan diterima semua pihak. Akan tetapi, meskipun semakin rinci bunyi pasal-pasal tersebut tetap saja multi tafsir. Sebab, agama adalah hal yang sangat abstrak karena berada di wilayah yang paling privat dalam kehidupan manusia. Sebaliknya, agama sangat terbuka untuk penafsiran, tergantung siapa yang menafsirkan dan motivasi apa yang bermain di balik penafsiran itu.

Ketiga, RUU ini sangat diskriminatif terhadap agama-agama di luar agama resmi (secara de jure diakui oleh negara) atau kelompok minoritas sehingga dapat menjadi justifikasi bagi munculnya kekerasan atas nama agama. Karena, ada kesan mendalam bahwa pasal-pasal dalam RUU itu hanya melindungi agama, masyarakat, negara dalam konteks peraturan yang berlaku saat ini di tanah air. Dengan demikian, perlindungan dan proteksi yang dibangun dalam RUU ini hanya ditujukan kepada agama-agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah melalui berbagai peraturan,[8] yaitu 6 agama saja: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu[9]. Tambahan lagi, yang diproteksi dan dilindungi itu pun terbatas pada kelompok mainstream dari masing-masing agama tadi. Jadi, Ahmadiyah, meskipun termasuk rumpun Islam, yakni agama yang diakui, tetapi tetap tidak berhak dilindungi karena keluar dari mainstream. Demikian, pula sekte dan aliran agama lainnya yang bukan mainstream. Fatalnya nanti, RUU ini dapat menjadi pembenaran bagi tindak kekerasan terhadap kelompok agama yang bukan dari 6 agama dimaksud atau terhadap kelompok minoritas atau kelompok sempalan dari keenam agama tersebut.

Berikut ini dipaparkan analisa terhadap pasal-pasal dalam RUU KUHP yang terkait dengan tindak pidana terhadap agama :

Pertama, Pasal 341: “Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang sifatnya penghinaan terhadap agama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Kategori III“. Pertanyaan penting dalam pasal ini adalah apa yang dimaksudkan dengan penghinaan terhadap agama ? Pasal ini mengesankan bahwa yang dilindugi adalah agama, dan tentu saja yang dikehendaki adalah terbatas pada enam agama yang “diresmikan“ pemerintah. Ini menyalahi ketentuan HAM, karena yang harus dilindungi adalah manusia yang menganut agama itu, bukan agama itu sendiri. Setiap manusia harus dilindungi dari semua bentuk penghinaan. Agama tidak perlu diberikan perlindungan dan memang bukan subyek yang butuh perlindungan.

Kedua, Pasal 342: “Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“. Apa yang dimaksud dengan menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya? Pasal inipun mengesankan hal yang sama dengan pasal sebelumnya, yakni perlindungan terhadap Tuhan, firman dan sifat-Nya. Menggelikan dan aneh sekali pasal ini, mengapa Tuhan harus dilindungi, bukan sebaliknya. Justru Tuhan yang harus melindungi manusia, makhluk ciptaan-Nya sendiri. Prinsip HAM berakar dari penghormatan dan penghargaan kepada manusia sebagai makhluk bermartabat, sehingga manusialah yang berhak mendapatkan perlindungan.Yang diperlukan dalam hal ini adalah perlindungan terhadap hak manusia, pilihan manusia, dan kebebasan manusia. Terserah pada manusia, agama atau kepercayaan apa yang dipilihnya sepanjang hal itu dilakukan secara sukarela, bukan dipaksa, ditekan atau diintimidasi.

Ketiga, Pasal 343: “Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“. Apa yang dimaksud mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama atau ibadah keagamaan? Apakah melakukan kajian kritis, dalam bentuk kajian teologis, atau psikologis terhadap konsep Agama, Rasul, Kitab Suci dan sebagainya juga termasuk dalam hal ini? Demikian pula, seirama dengan dua pasal sebelumnya, pasal inipun tidak relevan karena perlindungan disediakan bagi agama Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama atau ibadah keagamaan, bukan terhadap manusia yang memilih keyakinan atau agama tersebut.

Keempat, Pasal 344: (1) “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan, suatu rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 341 atau pasal 343 dengan maksud agar isi tulisan, gambar atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV; (2) “Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tersebut“. Pasal ini sangat berbahaya karena multi tafsir, bisa dimafaatkan oleh oknum tertentu untuk mencelakakan seseorang atau kelompok yang tidak sefaham dengannya.

Kelima, Pasal 345: “Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“. Pasal ini aneh sekali, karena tidak jelas apa yang diinginkan dengan kata menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia. Sekilas, pasal ini melarang upaya-upaya dakwah dan missionaris agama yang sering dianggap sebagai kegiatan menghasut penganut agama lain yang ujungnya akan meniadakan atau menukar agama seseorang. Dokumen HAM menjamin kebebasan setiap orang untuk menjalankan agamanya, menyebarkan ajaran agamanya sepanjang tidak melakukan upaya-upaya pembodohan secara nyata atau terselubung, tidak menggunakan pemaksaan, kekerasan dan intimidasi.

Keenam, Pasal 346: (1) “Setiap orang yang menganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jemaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Kategori IV; (2) “Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II“. Sekilas pasal 346 ini sangat memberikan pengharapan terhadap pemeluk agama yang selama ini sudah trauma dan putus asa karena tidak jelasnya sistem hukum yang berlangsung di negeri ini. Pasal ini secara konkret memberikan perlindungan dan proteksi terhadap siapa pun yang sedang menjalankan ibadahnya. Namun, dalam banyak kasus selama ini realisasinya, perlindungan dan proteksi adalah monopoli kelompok agama mayoritas dan mainstream.

Ketujuh, Pasal 347: “Setiap orang yang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejek petugas agama yang sedang melaksanakan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Kategori III“. Sulit sekali melakukan kontrol atau memonitor perilaku mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejek petugas agama yang sedang melaksanakan tugasnya. Sebab, perilaku mengejek sulit diidentifikasi secara jelas, tergantung siapa yang mendefinisikannya.

Kedelapan, pasal 348: “Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“. Sepintas, pasal ini amat berguna bagi penegakan hak kebebasan beragama di tanah air. Sebab, setiap orang yang melakukan penodaan dan keonaran akan dihukum sesuai peraturan yang berlaku. Namun, dalam implementasinya, pasal ini hanya ditujukan kepada kelompok penganut agama resmi dan kelompok mainstream. Mengapa? Karena logika yang umum dipakai aparat negara adalah bahwa penganut agama di luar agama resmi dan pengikut kelompok minoritas adalah orang-orang yang menyalahi hukum sehingga mereka tidak akan mendapatkan perlindungan hukum, bahkan pantas dihukum.

Secara umum pasal-pasal yang mengatur mengenai penghinaan terhadap agama (pasal 341, 342, 343, dan 344) dan yang mengungkap masalah penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama (pasal 345), serta yang menyatakan tentang gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan keagamaan (pasal 346-347-348) sangat jauh dari spirit perlindungan hak kebebasan beragama seperti ditegaskan dalam DUHAM, konstitusi, dan sejumlah UU nasional tentang HAM. Perlindungan hak kebebasan beragama dalam berbagai dokumen tersebut menekankan pada perlindungan hak asasi manusia, yaitu hak untuk menganut dan tidak menganut agama atau keyakinan tertentu, hak untuk melaksanakan ibadah atau ritual sesuai keyakinan dan agama, dan hak untuk menyiarkan atau mengajarkan tanpa mengancam kebebasan orang lain. Jadi, yang dilindungi adalah manusia, bukan agama, bukan Rasul, bukan Tuhan sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal tersebut.

Kebebasan individu adalah prisip dasar perlindungan manusia. Dalam konteks ini, harus dipastikan bahwa pemaksaan kehendak dan kekerasan apapun alasannya adalah penghinaan terhadap kebebasan individu dan karena itu harus diberangus atas dasar hak asasi manusia. Oleh karena itu, harus dicatat bahwa pengutamaan individu dalam hak asasi manusia bukalah pengutamaan yang egoistik, melainkan selalu diikuti dengan tuntutan kewajiban-kewajiban sosial. Artinya, pemenuhan hak asasi manusia selalu mempertimbangkan prasyarat-prasyarat sosial, tidak boleh diselenggarakan dengan cara-cara kekerasan apa pun alasannya. Kebebasan individu sealu berujung pada penghormatan kebebasan individu lain.

Dalam konteks perlindungan terhadap hak kebebasan beragama ini, seharusya negara bersifat netral dan tidak memihak kepada siapa pun (imparsialitas) dan kepada golongan agama manapun. Negara harus menjamin penyeleggaraan agama atas alasan sosial, yaitu sebagai hak individu dan sebagai pilihan bebas individu. Negara tidak menjamin isi sebuah agama atau keyakinan, Negara hanya menjamin hak manusia untuk beragama dan berkeyakinan secara bebas dan damai.

Pembatasan Hak Kebebasan Beragama

Hak kebebasan beragama tentulah bukan hak mutlak tanpa batas, melainkan dibatasi oleh kewajiban dan tanggung jawab seseorang untuk menghargai dan menghormati sesama manusia, apapun agamanya. Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi pemerintah memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pembatasan-pembatasan dalam kehidupan keagamaan. Akan tetapi, harus diingat bahwa semua bentuk pembatasan atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan dengan undang-undang. Alasan pembatasan tersebut harus terkait dengan upaya-upaya perlindungan atas lima hal yang akan dijelaskan nanti.

Pembatasan kebebasan beragama hanya diperlukan jika mengarah kepada pembatasan untuk mewujudkan, mengimplementasikan, atau memanifestasikan ajaran agama atau keyakinan seseorang yang termasuk kebebasan bertindak (freedom to act). Jadi, pembatasan tidak mencakup hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam pengertian freedom to be. Sebab, segaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kebebasan untuk mengimplementasikan ajaran agama atau keyakinan bersifat derogable, boleh dibatasi, diatur, atau ditangguhkan pelaksanaannya. Dengan demikian tujuan utama pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan orang (kehidupan, integritas, kesehatan mereka) atau kepemilikan mereka.[10] Pembatasan itu semata-mata dimaksudkan untuk melindungi keselamatan seluruh masyarakat.

Oleh karena itu, regulasi negara dalam kehidupan beragama tetap diperlukan. Regulasi dimaksud dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara, bukan intervensi. Untuk tujuan-tujuan tersebut, negara perlu menetapkan rambu-rambu agar para pemeluk agama tidak mengajarkan hal-hal yang mengganggu ketertiban masyarakat dan kesehatan mereka, tidak mengajarkan kekerasan (violence) kepada siapa pun dan dengan alasan apa pun, dan tidak melakukan penghinaan terhadap pengikut agama lain.

Pertanyaannya, elemen-elemen apa saja yang dapat dimuat di dalam pengaturan pembatasan tersebut? Pembatasan dimaksud sebagaimana terbaca dalam pasal 18, ayat (3): mencakup lima elemen berikut: keselamatan masyarakat (public savety), ketertiban masyarakat (public order), kesehatan masyarakat (public health), etik dan moral masyarakat (morals public), dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundemental rights and freedom of others). Secara lebih rinci diuraikan di bawah ini :

  1. Restriction For The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk Melindungi Keselamatan Masyarakat). Dibenarkan pembatasan dan larangan terhadap ajaran agama yang membahayakan keselamatan pemeluknya. Contohnya, ajaran agama yang ekstrim, misalnya menyuruh untuk bunuh diri, baik secara individu maupun secara massal. Atau ajaran agama yang melarang penganutnya memakai helm pelindung kepala dalam berkendaraan.

  1. Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau masyarakat. Di antaranya, aturan tentang keharusan mendaftar ke badan hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat; keharusan mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum; keharusan mendirikan tempat ibadat hanya pada lokasi yang diperuntukkan untuk umum; dan aturan pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi nara pidana.

  1. Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijinkan berkaitan dengan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, Pemerintah dapat mewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit berbahaya, seperti TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan infus dan seterusnya. Demikian pula, misalnya larangan terhadap ajaran agama yang mengharuskan penganutnya berpuasa sepanjang masa karena dikhawatirkan akan mengancam kesehatan mereka.

  1. Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat). Misalnya, melarang implementasi ajaran agama yang menyuruh penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.

  1. Restriction For The Protection of The Fundamental Rigths and Freedom of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan orang lain).

(1) Proselytism (Penyebaran Agama): Dengan adanya hukuman terhadap tindakan proselytism, pemerintah dapat mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris di dalam rangka melindungi agar kebebasan beragama orang lain tidak terganggu atau dikonversikan.

(2) Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, hak kebebasan dari kekerasan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga eksploitasi hak-hak kaum minoritas.

Penutup & Rekomendasi

Dokumen HAM internasional, konstitusi Indonesia dan sejumlah undang-undang secara tegas menyatakan kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar dan tidak boleh dikurangi sedikitpun (non-derogable). Negara menjamin pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan kebebasan beragama, baik sebagai hak asasi yang mendasar bagi setiap manusia, maupun sebagai hak sipil bagi setiap warga negara.

Upaya pemenuhan dan perlindungan terhadap hak kebebasan beragama di Indonesia yang masyarakatnya dikenal sangat heterogen dalam hal agama dan keyakinan menjadi sangat relevan dan signifikan. Sebab, akan membawa kepada tumbuhnya rasa saling menghargai dan menghormati di antara warga negara yang berbeda agama, dan pada gilirannya membawa kepada timbulnya sikap toleransi dan cinta kasih di antara mereka. Toleransi beragama dan perasaan cinta kasih merupakan faktor dominan bagi terwujudnya keadilan sosial seperti diamanatkan dalam Pancasila, dan terciptanya kerjasama kemanusiaan menuju perdamaian dunia, sebagaimana tercantum dalam cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.

Cita-cita luhur dan ideal inilah yang mendasari para pendiri republik ini (the founding fathers) ketika merumuskan dasar negara Pancasila dan UUD 1945, khususnya pasal 29 tentang kebebasan beragama. Spirit kebangsaan mereka hendaknya menjadi acuan dalam membangun peradaban bangsa ini ke depan sehingga tidak ada alasan untuk tidak mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana digariskan oleh para pendiri republik tercinta ini.

Kesimpulan yang hendak ditegaskan dalam kajian ini adalah sebagai berikut :

Pertama, Tindak kejahatan terhadap agama dan keyakinan perlu sekali diatur dalam sebuah produk hukum, akan tetapi isi dan rumusan pasalnya tidak seperti yang digambarkan dalam RUU KUHP (2005).

Kedua, Tindak kejahatan yang diatur harus dirumuskan dengan perpektif HAM. Ketentuan pidana baru akan dilakukan kepada orang yang menghalang-halangi seseorang atau sekelompok orang untuk menjalankan hak asasinya. Sehingga konsekuensinya adalah bahwa yang diberikan perlindungan adalah penegakan HAM-nya, bukan dengan merumuskan delik materiil mengenai penodaan, penghinaan, dsb.

Ketiga, RUU KUHP belum mampu menjawab kebutuhan dan harapan masyarakat. Pasal-pasal khusus mengenai tindak kejahatan berupa penodaan, penghinaan, perendahan, dan pelecehan, dapat dikatakan meniscayakan dua hal; Pertama menetapkannya dengan konsekuensi memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap seluruh bentuk agama (baik dalam konteks mainstream maupun subaltern) dan ini berarti memerlukan penegakan hukum yang adil dan tegas. Kedua, menghapus pasal-pasal tersebut dan memuat ketentuan tentang tindak criminal yang mengakibatkan kerusakan dan kekerasan.

Akhirnya, sebagai rekomendasi untuk solusi ke depan, perlu sekiranya seluruh unsur civil society: kelompok akademisi, korporasi, agamawan, dan budayawan agar membangun sinergi, bergandeng tangan, bahu membahu untuk menegakkan hak dan prinsip kebebasan beragama melalui upaya-upaya sebagai berikut :

Pertama, melakukan upaya rekonstruksi kultural melalui jalur pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal serta mendorong terjadinya perubahan buadaya masyarakat yang eksklusif, intoleran, dan senang kekerasan menuju budaya inklusif, toleran, cinta damai dan pluralis.

Kedua, merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak mendorong terwujudnya kebebasan beragama di tanah air, seperti RUU KUHP, khususnya bab tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama.

Ketiga, mengembangkan reinterpretasi ajaran agama yang lebih kondusif bagi pemenuhan hak kebebasan beragama karena itulah ajaran agama yang hakiki, ajaran yang membebaskan manusia dari belenggu tirani dan kebencian, ajaran yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.


[1] DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) merupakan pernyataan definitif yang pertama tentang 'hak asasi manusia' dan menyebutkan secara jelas hak-hak yang bersifat universal. Dokumen ini merupakan kesepakatan internasional yang ditanda-tangani oleh para pihak (negara) yang menjadi anggota PBB. Walaupun demikian, kesepakatan tersebut tidak mengikat secara hukum (not legally binding) dan tidak menyediakan perlindungan yang dapat dipaksakan.

[2] Dalam hal ini Groome menyebutkan sejumlah dokumen historis, yaitu: (1) Magna Charta (1215); (2) Bill of Rights England (1689); (3) Rights of Man France (1789); (4) Bill of Rights USA (1791); (5) Rights of Russian People (1917); dan (6) International Bill of Rights (1966).

[3]Lihat, Rumadi, Makalah :Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama Dalam RUU KUHP, Wahid Institute

[4]Lihat, Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1981), dan ”Pengaruh Kebudayaan dan Agama terhadap Hukum Pidana”, makalah 1975.

[5] Lihat Black’s Law Dictionary.

[6] Lihat AP. Simester & GR. Sullivan, Criminal Law: Theory and Doctrine (Oxford: Hart Publishing, 2000).

[7] Lihat Oemar Seno Adji, op cit.

[8] Di antara peraturan yang secara eksplisit menyebut agama-agama yang diakui pemerintah adalah UU Adminduk yang disahkan pada 8 Desember 2006, pasal 8 ayat 4.

[9] Selama masa ORBA tidak diakui sebagai agama. Diakui kembali sebagai agama di Indonesia sejak tahun 2005 berdasarkan Surat Edaran Presiden SBY. Sebelumnya, tahun 1965 sudah ada pengakuan berdasarkan penjelasan pasal 1 PNPS No. 1 Tahun 1965. Kasus Kong Hu Cu ini seharusnya membukakan mata kita semua bahwa tidak sepatutnya negara mencampuri urusan pengakuan terhadap suatu agama. Jika pemerintah telah mengeluarkan pengakuan dalam bentuk Surat Edaran tersebut, lalu apakah pemerintah juga akan mengeluarkan surat yang serupa untuk komunitas agama dan kepercayaan lain yang jumlahnya ratusan atau mungkin ribuan di masyarakat? Hal ini seharusnya menyadarkan kita semua, terutama para penyelenggara negara bahwa intervensi negara terhadap kehidupan beragama masyarakat sangat problematik dan justru akan mempersulit tugas negara itu sendiri. Sebab, jika begitu polanya, maka berapa banyak surat edaran yang diperlukan bangsa ini agar agama yang hidup dan dianut di tanah air yang jumlahnya ratusan itu dapat menjadi agama resmi atau diakui pemerintah sehingga pemeluknya dapat menikmati hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Negara cukup mengatur agar semua warga negara mendapatkan kebebasan memilih dan memeluk agama yang dia yakini kebenarannya.

[10] Lihat: Nowak, UN Covenant on Civil and Political Rights, 326.


ditulis oleh Mochamad Sentot